Search This Blog

Thursday, February 21, 2019

Film: Dari Hitam Putih Hingga Hijau


                Film merupakan salah satu bentuk media yang masih sangat populer di masa sekarang. Meski identik dengan televisi, sejarah film sudah dimulai lebih awal. Menurut Nurudin (2017: 39), asal muasal film bermula pada tahun 1889, saat George Estman membeli hak paten dari Hannibal Goodwin untuk memproduksi film. Film pertama yang ditayangkan untuk umum diproduksi oleh Lumiere bersaudara pada tahun 1895 berjudul “Train Entering the Station”. Film tersebut ditayangkan di sebuah kafe di Paris, dan setiap malam ada sekitar 2.500 orang yang menonton.

               William Dickson (asisten Thomas Alva Edison) kemudian mengembangkan Kinetograph (kamera film awal), dan Kinetoscope (sistem melihat film). Kedua alat tersebut bertujuan supaya pengambilan gambar bisa dilakukan dengan lebih baik dan penonton dapat melihat film dengan lebih jelas. Pada tahun 1896, George Melies membuka bioskop yang pertama di Perancis. Menurut Campbell seperti yang ditulis oleh Nurudin (2017: 39), film pendek menjadi salah satu hiburan utama bagi masyarakat Amerika pada awal 1900-an. Rata-rata  pengunjung bioskop setiap minggu mencapai 40 juta penonton pada tahun 1922, hal ini membuktikan bahwa film sudah sangat populer di masa itu.

               Popularitas film sempat mengalami fluktuasi pada tahun 1950-an dikarenakan kehadiran televisi. Kemunculan berbagai media penyimpanan data, dimulai dari Laserdisc, Compact Disc (CD), Digital Versatile Disc (DVD), hingga yang terbaru Blu-Ray Disc (BD), membuat konsumen tidak lagi harus datang ke bioskop untuk dapat menyaksikan film. Terlebih kehadiran BD yang memiliki kapasitas besar (antara 25–100 GigaByte) per keping, membuat film dapat ditayangkan dengan format High Definition (HD), bahkan sekarang mencapai 4K (resolusi empat kali lipat Full HD), membuat tampilan film BD dapat melebihi apa yang ditampilkan di bioskop (asalkan juga didukung oleh televisi yang memadai). Terlebih lagi, film yang dirilis dalam format BD biasa memiliki tambahan konten atau adegan yang tidak ada di versi bioskopnya. Meski begitu, ada satu faktor yang tidak bisa dikalahkan dari film bioskop, aktualitas.

               Mayoritas (atau bahkan semua) film, terutama Hollywood pasti akan selalu tayang di bioskop terlebih dahulu sebelum disusul oleh versi fisik atau digital beberapa bulan kemudian, dengan catatan bahwa film-film tersebut lolos sensor, dan dapat ditayangkan di bioskop-bioskop dalam negeri. Hal inilah yang menjadi alasan utama kenapa banyak orang, terutama generasi muda, tetap gemar datang ke bioskop. Menurut Wahyuni (2014: 51), alasan mengapa film begitu digemari publik adalah karena sifatnya yang sangat menghibur, beberapa genre bahkan dapat memengaruhi, menginspirasi, atau memberikan pengetahuan bagi penonton, seperti film biografi, anti perang, atau arti hidup dan kemanusiaan.

               Layaknya media-media lain, film juga tidak bisa lepas dari perkembangan zaman. Tidak hanya dari segi penonton dan bioskop, perubahan juga terjadi dalam proses pembuatan film. Satu teknologi yang paling sering digunakan dalam dunia Hollywood adalah ‘Green Screen’. Warna hijau digunakan karena sensor kamera digital modern paling peka terhadap warna hijau (Zhi, 2015: 1). Teknik ini menggunakan backdrop (latar belakang) berwarna hijau (atau kadang biru, sesuai kebutuhan) saat pengambilan gambar/adegan. Saat proses penyuntingan, layer aktor/aktris dapat dipisahkan dari backdrop dan ditempatkan di latar belakang lain sesuai adegan tanpa kehilangan detail-detail penting seperti rambut atau bulu. Metode ini paling sering digunakan dalam film fantasi atau sains fiksi, dimana hampir mustahil menghadirkan setting yang sesuai dengan cerita (luar angkasa, pulau yang melayang di langit), selain tentunya menghemat biaya yang dulunya diperlukan untuk membuat diorama setting.

Tidak hanya setting, teknik ini juga dapat digunakan untuk mengubah rupa atau pakaian pemain. Aktor akan memakai baju hijau saat pengambilan gambar, sehingga tampak menyatu dengan latar belakang. Digabungkan dengan teknologi Motion Capture (Mocap), kedua teknik ini dapat menghasilkan karakter, baik berwujud humanoid (mirip manusia) atau tidak, dengan gerakan yang lebih fluid, dinamis, halus, serta memiliki mimik wajah yang sangat ekspresif, karena mengikuti gerakan dari aktor yang bersangkutan. Dua contoh film yang menggunakan kedua teknik ini adalah Avatar (2009) dan Alita: Battle Angel (2019), keduanya merupakan besutan James Cameron (sutradara Hollywood ternama yang juga membuat film Titanic). Dalam Avatar, bisa kita lihat saat semua aktor yang berperan sebagai bangsa Na’vi dapat dikonversi dengan sempurna ke dalam wujud yang berbeda (makhluk humanoid setinggi lebih dari tiga meter, berkulit biru dengan buntut) dalam setting yang luar biasa indah dan seolah tampak nyata. Ini merupakan nilai ‘magis’ dari teknik Green Screen dan Mocap, dapat membuat apa yang selama ini fantasi belaka menjadi nyata dan dapat disaksikan penonton.

Green Screen memang memberi banyak keuntungan, terutama saat pengambilan gambar dimana dapat menghemat banyak waktu dan uang, tapi teknik ini bukan tanpa kelemahan. Proses penyuntingan membutuhkan waktu yang lama dan ketelitian yang luar biasa, bila dilakukan dengan buruk maka hasil dapat terlihat tidak realistis (karakter tidak tampak menyatu dengan latar belakang). Diperlukan juga peralatan komputer yang sangat canggih dalam skala besar, dan tentu tidak murah supaya dapat melakukan proses penyuntingan dan rendering untuk menyelesaikan film.

Mengambil penjelasan dari Geek.com yang ditulis oleh Osborne (2009), proses render dari film Avatar membutuhkan perangkat komputer sebanyak 34 rak, masing-masing rak terdiri atas 32 mesin, dengan total 40.000 prosesor dan 104 TeraByte memori (RAM). Jaringan komputer tersebut menjalankan tugas rendering sebanyak 1,4 juta operasi setiap harinya, yang terdiri atas pemrosesan 8 GigaByte data per detik, dan dijalankan penuh 24 jam selama lebih dari sebulan. Dapat dibayangkan betapa besar biaya serta usaha yang diperlukan untuk membuat maha karya seperti Avatar, sangat memukau, namun juga sangat mahal.


Daftar Pustaka
Buku
1.      Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
2.      Wahyuni, Isti Nursih. 2014. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jurnal
1.      Zhi, Jin. 2015. An Alternative Green Screen Keying Method For Film Visual Effects. The International Journal of Multimedia & Its Application (IJMA) Vol. 7, No. 2, April 2015, DOI : 10.5121/ijma.2015.7201. Diunduh pada 19 Februari 2019.

Artikel Daring
1.      Osborne, Doug. (2009, 24 Desember). The Computing Power That Created Avatar. Diakses pada 20 Februari 2019, dari https://www.geek.com/chips/the-computing-power-that-created-avatar-1031232/

Radio: Dulu dan Sekarang


               Mendengar kata ‘radio’ mungkin dalam benak kita akan langsung terbayang sebuah siaran yang hanya berupa suara tanpa gambar, yang biasa kita dengarkan di mobil atau rumah. Siaran radio sendiri merupakan salah satu bentuk dari pemanfaatan gelombang radio sebagai media komunikasi, baik antar pribadi maupun untuk komunikasi massa (Minnesota, 2016). Kedua fungsi tersebut masih dijalankan hingga sekarang, dan kebanyakan orang akan mengasosiasikan kata ‘radio’ dengan stasiun radio yang melakukan penyiaran untuk publik. Gelombang radio sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk penyiaran audio/suara saja, namun juga dapat digunakan untuk televisi dan telepon selular, menjadikannya salah satu saluran informasi yang paling penting.

               Orang yang pertama kali memperkenalkan teknologi radio adalah Guglielmo Marconi. Dirinya terinspirasi oleh Hienrich Hertz, terutama hasil penelitiannya mengenai komunikasi nirkabel. Marconi lalu mencoba meniru eksperimen Hertz dan berhasil mengirimkan transmisi dari satu sisi loteng rumahnya ke sisi yang lain. Awalnya Marconi ingin meminta bantuan pemerintah Italia untuk penelitiannya, namun karena pemerintah Italia tidak menunjukkan respon positif, Marconi pindah ke Inggris untuk mematenkan teknologi ciptaannya. Pada mulanya, teknologi radio Marconi hanya digunakan kapal laut untuk mengirimkan pesan ke kapal lain dan pos pelabuhan (Nurudin, 2017: 41), dan belum digunakan untuk penyiaran.

               Pada 1910, Enrico Caruso merintis siaran radio. Perkembangan siaran radio terus mengalami kemajuan, sampai beberapa perusahaan Amerika membeli hak paten dari Marconi dan membentuk Radio Corporation of America (RCA). Pada tanggal 1 Januari 1922, Menteri Perdagangan Amerika telah mengeluarkan 30 izin siaran, dan jumlah itu terus meningkat menjadi 556 lisensi pada awal 1923. Penetrasi radio di rumah tangga Amerika mencapai 40% pada 1930, dan mencapai jumlah yang singnifikan yakni 90% pada tahun 1947 (Nurudin, 2017: 41-42).
              
               Masa keemasan radio terjadi sekitar tahun 1930 hingga 1950-an. Cukup miris, mengingat dunia sedang terguncang akibat berbagai perang, terutama Perang Dunia ke-2 pada masa itu. Satu hal yang membuat radio populer pada masa itu adalah fakta bahwa ia gratis, sehingga menjadi sumber informasi dan hiburan yang berharga bagi banyak masyarakat kurang mampu. Radio merupakan salah satu bentuk media massa paling awal dan memiliki jadwalnya sendiri. Masyarakat yang selama ini hanya mencari informasi lewat media cetak seperti koran atau buku, mulai beralih ke radio karena menghadirkan pengalaman yang berbeda yang turut mengubah gaya hidup mereka.

               Kehadiran televisi pada tahun 1950-an membuat banyak orang berpikir bahwa radio akan musnah, karena televisi memiliki sesuatu yang tidak dimiliki radio yaitu gambar. Gabungan dari audio dan visual membuat televisi mampu memberikan informasi yang lebih jelas dan detail deibandingkan dengan radio. Nyatanya, radio tetap mampu bertahan hingga sekarang. Menurut Wahyuni (2014: 50) hal itu dikarenakan sifat radio yang luwes dan lebih fleksibel dibandingkan televisi. Radio siaran dapat didengarkan di mana saja dan lewat banyak perangkat, tidak seperti siaran televisi yang mutlak memerlukan media televisi. Bahkan radio biasanya tetap dapat digunakan saat terjadi bencana alam, seperti gempa Yogya 2006, dimana radio memiliki peranan penting dalam penyebaran informasi karena televisi tidak bisa diakses (listrik mati). Banyak iklan sudah beralih ke televisi, namun radio tetap memiliki kemampuan menjual bagi sebagian masyarakat, dikarenakan sifatnya yang memang ditujukan bagi kelompok-kelompok khusus (misalkan penggemar budaya dan musik Jepang). Radio juga tetap menjadi salah satu media penghibur saat bersantai, bekerja, atau terjebak macet di jalanan (dalam mobil).
              
               Radio yang dulu sangat populer di kalangan muda-mudi sebagai media hiburan dan sumber informasi, mulai tergerus popularitasnya semenjak kehadiran internet dan layanan streaming musik seperti Spotify atau Apple Music. Berdasarkan data dari Music Business Association pada tahun 2016 dalam artikel Austin (2017), generasi Z (mereka yang lahir setelah tahun 1995), hanya menghabiskan 12 persen waktu mereka untuk mendengarkan radio, dimana setengah lebih waktu mereka digunakan untuk mendengarkan layanan streaming musik digital atau Youtube. Berdasarkan statistik yang dilakukan pada remaja umur 13-18 tahun di Amerika, terjadi penurunan pendengar radio AM/FM sebesar hampir 50% dalam rentang waktu 2005 hingga 2016 (Miller, 2017: 10).

               Salah satu area dimana radio masih mampu bersinar adalah mobil. Pengemudi mobil masih banyak yang mendengarkan radio saat sedang berkendara, terutama saat terjebak dalam kemacetan, sekedar untuk hiburan atau mencari informasi lalu lintas. Namun, hal ini juga mulai tergerus oleh kehadiran perangkat media pintar yang sudah banyak terintegrasi, terutama di mobil-mobil keluaran baru. Perangkat ini dapat dengan mudah terkoneksi dengan smartphone dan internet, membuat banyak pengemudi muda lebih memilih mendengarkan musik yang ada di gawai pintar mereka dibandingkan mendengarkan siaran radio. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa banyak produsen gawai pintar memilih untuk tidak lagi membenamkan chip FM untuk menangkap sinyal radio lewat gawai buatan mereka. Hal ini seolah menunjukkan bahwa banyak perusahaan melihat radio sebagai ‘masa lalu’ dan sudah tidak relevan bagi masyarakat modern (Miller, 2017: 14).

               Dengan sejarah yang panjang, radio diharapkan tetap mampu bertahan di tengah gempuran digitalisasi yang terjadi saat ini. Masih ada beberapa penyedia layanan radio yang meilhat gawai pintar (smartphone, podcast, dan smart speaker) sebagai ancaman, serta menolak untuk berubah demi mempertahankan ‘keasilan’ dari radio. Menurut Gordon Borrell dari Asosiasi Borrell, radio konvensional harus memanfaatkan media digital sebagai aset untuk menjangkau konsumen-konsumen baru (anak muda). “Untuk berkembang, radio harus menyadari bahwa peran mereka bukan untuk menjual spot radio (iklan lewat siaran radio), namun juga memanfaatkan berbagai iklan digital dan layanan lain untuk menarik minat konsumen mereka”, terang Borrell (Ely, 2018). Radio harus mampu bertransformasi dan merangkul digitalisasi untuk menghadirkan konten yang lebih menarik, aktual, dan mudah diakses oleh siapapun agar tetap relevan bagi masyarakat modern.


Daftar Pustaka :
Buku
1.      Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
2.      Wahyuni, Isti Nursih. 2014. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jurnal
1.      Miller, Larry S.. 2017. Paradigm Shift: Why Radio Must Adapt To The Rise Of Digital. The National Association of Broadcasters, diakses pada 12 Februari 2019.
2.      Minnesota, University of. 2010. Understanding Media and Culture: An Introduction to Mass Communication, diakses pada 12 Februari 2019.

Artikel Daring
1.      Austin, Mark (2017). Will ‘Generation Z’ Spell The End of Traditional Terrestrial AM/FM Radio?. Diakses pada 12 Februari 2019, dari https://www.digitaltrends.com/music/future-of-radio/
Ely, Gene (2018, 30 Maret). Radio Big Challenge: Finding Its Way Forward in This New Digital World. Diakses pada 12 Februari 2019, dari https://www.forbes.com/sites/geneely/2018/03/30/radios-big-challenge-finding-its-way-forward-in-this-new-digital-world/#710f8ee55a26

Thursday, February 7, 2019

Majalah: Bertahan Hidup di Tengah Badai Teknologi

            Majalah merupakan salah satu bentuk media cetak dengan sejarah yang cukup panjang. Majalah mulai berkembang di Inggris pada tahun 1700-an, berisikan berbagai berita baik fiksi ataupun nonfiksi, tergantung kebutuhan pembacanya. Ada versi lain dalam buku Media and Culture (2002), R. Campbell mengatakan bahwa majalah pertama kali muncul di Philadelphia pada tahun 1741, sekitar 50 tahun setelah munculnya surat kabar. Majalah ini harganya lebih mahal dari surat kabar, karena itu hanya beberapa orang saja yang bisa membacanya. Karena harganya yang mahal, majalah sering dibuat dan didistribusikan oleh kelompok khusus, seperti Gereja. The Saturday Evening Post (1821) menjadi majalah pertama yang terbit dalam sejarah Amerika. Sayang, pada tahun 1969, majalah ini gulung tikar karena kalah bersaing dengan televisi (Nurudin, 2017: 34-35).
              
Perjalanan majalah dalam dunia media tidak lepas dari guncangan. Majalah sempat mengalami masa keemasan pada awal abad ke-20, dimana menurut Nurudin (2017: 35), majalah merupakan target utama bagi pemasang iklan, karena majalah memiliki jangkauan luas dengan sasaran yang khusus (setiap majalah memiliki segmen pembaca masing-masing). Pada tahun 1958-1960, jumlah judul majalah baru yang terbit di Amerika mengalami kenaikan hampir dua kali lipat. Mulai tahun 1970, pendapatan majalah lewat iklan mulai menurun karena banyak orang memilih memasang iklan di televisi, namun saat itu majalah masih tetap bertahan.
              
Awan gelap mulai menyelubungi majalah di era digital saat ini. Kehadiran internet dan media sosial membuat orang (terutama smartphone) dapat dengan mudah mencari informasi kapan saja mereka mau. Majalah yang dulu menjadi salah satu sumber informasi paling komprehensif, perlahan mulai ditinggalkan, karena kebanyakan informasi yang ditulis di majalah sudah terlebih dahulu menyebar lewat internet. Ditambah fakta bahwa berita yang disebarkan di internet kebanyakan dapat diakses secara gratis, membuat publik semakin enggan untuk membeli majalah.
              
Contoh paling nyata di Indonesia adalah tabloid BOLA yang sudah terbit sejak tahun 1984, namun akhirnya harus menyerah pada perkembangan zaman. Tabloid olahraga yang berada di bawah naungan Kompas Gramedia ini resmi berhenti edar pada 26 Oktober 2018 lalu. Tidak hanya BOLA, Kompas Gramedia juga ‘menyuntik mati’ beberapa tabloid dan majalah mereka pada tahun-tahun sebelumnya, seperti CHIP, Sinyal, Kawanku (Desember 2016), dan majalah anak muda Hai (Juni 2017), padahal majalah Hai sudah setia menemani pembacanya sejak tahun 1977 (Syafina, 2018). Hal ini membuktikan bahwa umur panjang dengan basis konsumen yang banyak belum tentu cukup untuk menunjang kehidupan sebuah brand majalah, apabila tidak mampu menarik atensi pangsa pasar baru (generasi muda pengguna teknologi).
              
Menyiasati perubahan zaman, beberapa majalah melakukan konvergensi dengan cara mengeluarkan versi digital dari majalah mereka yang bisa diakses lewat internet, atau diunduh lewat aplikasi tertentu. Namun hal ini belum tentu menjadi juru selamat bagi mereka, seperti majalah Digital Camera Indonesia yang sudah mengeluarkan versi digital sejak tahun 2012 lewat aplikasi Wayang Force, namun tetap harus menyerah pada akhir 2017 dan mundur dari perhelatan majalah di Indonesia. Kembali faktor gratis menjadi momok bagi majalah, terutama di Indonesia yang penduduknya terkenal dengan slogan, “Kalau bisa gratis, kenapa harus bayar?”.
              
Iklan merupakan penyokong utama bagi kehidupan sebuah majalah, namun keuntungan dari iklan yang dimuat lewat media online atau majalah digital belum mampu menyamai televisi atu bahkan media cetak konvensional. Menurut Big Mobile, perusahaan periklanan asal Australia, kue iklan digital di Indonesia hanya sekitar 17 persen dari total keseluruhan belanja iklan, dimana pendapatan iklan digital masih didominasi oleh dua raksasa teknologi, Facebook dan Google. Tidak hanya dua perusahaan itu, media online (termasuk majalah) juga harus berbagi kue dengan influencer di media sosial untuk mendapatkan view dan keuntungan sebanyak-banyaknya (Adam, 2018).
              
Beberapa media di dunia mencoba mencari keuntungan dengan menerapkan sistem berlangganan (subscribe) bagi pembaca yang ingin mendapatkan konten berita secara lengkap. Contohnya adalah Washington Post dan New York Times di Amerika, dengan jumlah subscriber yang terus meningkat setiap tahunnya. Apakah ini bisa menjadi solusi untuk mempertahankan eksistensi majalah di Indonesia? Sepertinya belum tentu, karena menurut PwG (lembaga survey di Amerika), keuntungan yang disumbang secara digital ini baru mencapai 16% pada tahun 2015, dan diprediksi baru akan mencapai 30% pada tahun 2020 (Benedict, 2018). Masalahnya tidak jauh berbeda dari Indonesia, banyak orang enggan membeli majalah (digital) karena lebih memilih sumber informasi lain yang gratis, ditambah biaya pemasangan iklan secara digital biasanya lebih murah dibanding versi cetak sehingga tidak mencetak keuntungan yang besar bagi perusahaan majalah.
              
Dengan keuntungan yang semakin menurun dan persaingan yang ketat, dikhawatirkan majalah tidak akan lagi memiliki daya tarik seperti dulu, atau artikel yang ditulis tidak lagi eksklusif dan terpercaya, karena majalah harus menekan pengeluaran sebesar-besarnya. “Once you let paper go, you’re just another website. You’re just more space junk floating around out there,” sebuah peringatan dari David Hepworth (jurnalis musik dan penulis dari Inggris) mengenai majalah yang seolah kehilangan pesonanya saat beralih ke versi digital (Benedict, 2018).

Peralihan menuju dunia digital dan internet memang tidak bisa dihindari, namun setidaknya majalah harus tetap menjaga kualitas tulisan mereka agar tetap relevan dan dipercaya pembaca. Jangan menjadi seperti banyak portal online yang hanya mengandalkan kecepatan, namun informasi tidak mendetail, bahkan kadang mengandung kekeliruan. Menurut Andreas Harsono (pendiri yayasan Pantau dan pengajar jurnalisme), kualitas jurnalisme di platform digital harus tetap bermutu dan tidak lebih rendah dari versi cetaknya, atau berpotensi merusak brand majalah atau media cetak itu sendiri (Zuhra, 2017).


Daftar Pustaka

Buku
1.      Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.

Jurnal
1.      Benedict, Catherine. 2018. The Future of the Magazine Industry. Journal.businesstoday.org. Diakses pada 5 Februari 2019.
2.      Mcilroy, Thad. 2018. The Future of Magazines. The Future of Publishing. Diakses pada 5 Februari 2019.

Artikel Daring
1.      Zuhra, Wan Ulfa Nur. (2017, 8 Februari). Media Cetak Bisa Mati, Jurnalisme (Seharusnya) Tidak. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/media-cetak-bisa-mati-jurnalisme--seharusnya--tidak-ciy6
2.      Adam, Aulia. (2018, 9 Februari). Benarkah Bisnis Media Online Tak Secerah Masa Depan Internet?. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/benarkah-bisnis-media-online-tak-secerah-masa-depan-internet-cEv5
Syafina, Dea Chadiza. (2018, 19 Oktober). Tabloid Bola Tutup dan Sandaran Baru Bisnis Kompas Gramedia Group. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/tabloid-bola-tutup-dan-sandaran-baru-bisnis-kompas-gramedia-group-c7GE