Search This Blog

Thursday, February 7, 2019

Majalah: Bertahan Hidup di Tengah Badai Teknologi

            Majalah merupakan salah satu bentuk media cetak dengan sejarah yang cukup panjang. Majalah mulai berkembang di Inggris pada tahun 1700-an, berisikan berbagai berita baik fiksi ataupun nonfiksi, tergantung kebutuhan pembacanya. Ada versi lain dalam buku Media and Culture (2002), R. Campbell mengatakan bahwa majalah pertama kali muncul di Philadelphia pada tahun 1741, sekitar 50 tahun setelah munculnya surat kabar. Majalah ini harganya lebih mahal dari surat kabar, karena itu hanya beberapa orang saja yang bisa membacanya. Karena harganya yang mahal, majalah sering dibuat dan didistribusikan oleh kelompok khusus, seperti Gereja. The Saturday Evening Post (1821) menjadi majalah pertama yang terbit dalam sejarah Amerika. Sayang, pada tahun 1969, majalah ini gulung tikar karena kalah bersaing dengan televisi (Nurudin, 2017: 34-35).
              
Perjalanan majalah dalam dunia media tidak lepas dari guncangan. Majalah sempat mengalami masa keemasan pada awal abad ke-20, dimana menurut Nurudin (2017: 35), majalah merupakan target utama bagi pemasang iklan, karena majalah memiliki jangkauan luas dengan sasaran yang khusus (setiap majalah memiliki segmen pembaca masing-masing). Pada tahun 1958-1960, jumlah judul majalah baru yang terbit di Amerika mengalami kenaikan hampir dua kali lipat. Mulai tahun 1970, pendapatan majalah lewat iklan mulai menurun karena banyak orang memilih memasang iklan di televisi, namun saat itu majalah masih tetap bertahan.
              
Awan gelap mulai menyelubungi majalah di era digital saat ini. Kehadiran internet dan media sosial membuat orang (terutama smartphone) dapat dengan mudah mencari informasi kapan saja mereka mau. Majalah yang dulu menjadi salah satu sumber informasi paling komprehensif, perlahan mulai ditinggalkan, karena kebanyakan informasi yang ditulis di majalah sudah terlebih dahulu menyebar lewat internet. Ditambah fakta bahwa berita yang disebarkan di internet kebanyakan dapat diakses secara gratis, membuat publik semakin enggan untuk membeli majalah.
              
Contoh paling nyata di Indonesia adalah tabloid BOLA yang sudah terbit sejak tahun 1984, namun akhirnya harus menyerah pada perkembangan zaman. Tabloid olahraga yang berada di bawah naungan Kompas Gramedia ini resmi berhenti edar pada 26 Oktober 2018 lalu. Tidak hanya BOLA, Kompas Gramedia juga ‘menyuntik mati’ beberapa tabloid dan majalah mereka pada tahun-tahun sebelumnya, seperti CHIP, Sinyal, Kawanku (Desember 2016), dan majalah anak muda Hai (Juni 2017), padahal majalah Hai sudah setia menemani pembacanya sejak tahun 1977 (Syafina, 2018). Hal ini membuktikan bahwa umur panjang dengan basis konsumen yang banyak belum tentu cukup untuk menunjang kehidupan sebuah brand majalah, apabila tidak mampu menarik atensi pangsa pasar baru (generasi muda pengguna teknologi).
              
Menyiasati perubahan zaman, beberapa majalah melakukan konvergensi dengan cara mengeluarkan versi digital dari majalah mereka yang bisa diakses lewat internet, atau diunduh lewat aplikasi tertentu. Namun hal ini belum tentu menjadi juru selamat bagi mereka, seperti majalah Digital Camera Indonesia yang sudah mengeluarkan versi digital sejak tahun 2012 lewat aplikasi Wayang Force, namun tetap harus menyerah pada akhir 2017 dan mundur dari perhelatan majalah di Indonesia. Kembali faktor gratis menjadi momok bagi majalah, terutama di Indonesia yang penduduknya terkenal dengan slogan, “Kalau bisa gratis, kenapa harus bayar?”.
              
Iklan merupakan penyokong utama bagi kehidupan sebuah majalah, namun keuntungan dari iklan yang dimuat lewat media online atau majalah digital belum mampu menyamai televisi atu bahkan media cetak konvensional. Menurut Big Mobile, perusahaan periklanan asal Australia, kue iklan digital di Indonesia hanya sekitar 17 persen dari total keseluruhan belanja iklan, dimana pendapatan iklan digital masih didominasi oleh dua raksasa teknologi, Facebook dan Google. Tidak hanya dua perusahaan itu, media online (termasuk majalah) juga harus berbagi kue dengan influencer di media sosial untuk mendapatkan view dan keuntungan sebanyak-banyaknya (Adam, 2018).
              
Beberapa media di dunia mencoba mencari keuntungan dengan menerapkan sistem berlangganan (subscribe) bagi pembaca yang ingin mendapatkan konten berita secara lengkap. Contohnya adalah Washington Post dan New York Times di Amerika, dengan jumlah subscriber yang terus meningkat setiap tahunnya. Apakah ini bisa menjadi solusi untuk mempertahankan eksistensi majalah di Indonesia? Sepertinya belum tentu, karena menurut PwG (lembaga survey di Amerika), keuntungan yang disumbang secara digital ini baru mencapai 16% pada tahun 2015, dan diprediksi baru akan mencapai 30% pada tahun 2020 (Benedict, 2018). Masalahnya tidak jauh berbeda dari Indonesia, banyak orang enggan membeli majalah (digital) karena lebih memilih sumber informasi lain yang gratis, ditambah biaya pemasangan iklan secara digital biasanya lebih murah dibanding versi cetak sehingga tidak mencetak keuntungan yang besar bagi perusahaan majalah.
              
Dengan keuntungan yang semakin menurun dan persaingan yang ketat, dikhawatirkan majalah tidak akan lagi memiliki daya tarik seperti dulu, atau artikel yang ditulis tidak lagi eksklusif dan terpercaya, karena majalah harus menekan pengeluaran sebesar-besarnya. “Once you let paper go, you’re just another website. You’re just more space junk floating around out there,” sebuah peringatan dari David Hepworth (jurnalis musik dan penulis dari Inggris) mengenai majalah yang seolah kehilangan pesonanya saat beralih ke versi digital (Benedict, 2018).

Peralihan menuju dunia digital dan internet memang tidak bisa dihindari, namun setidaknya majalah harus tetap menjaga kualitas tulisan mereka agar tetap relevan dan dipercaya pembaca. Jangan menjadi seperti banyak portal online yang hanya mengandalkan kecepatan, namun informasi tidak mendetail, bahkan kadang mengandung kekeliruan. Menurut Andreas Harsono (pendiri yayasan Pantau dan pengajar jurnalisme), kualitas jurnalisme di platform digital harus tetap bermutu dan tidak lebih rendah dari versi cetaknya, atau berpotensi merusak brand majalah atau media cetak itu sendiri (Zuhra, 2017).


Daftar Pustaka

Buku
1.      Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.

Jurnal
1.      Benedict, Catherine. 2018. The Future of the Magazine Industry. Journal.businesstoday.org. Diakses pada 5 Februari 2019.
2.      Mcilroy, Thad. 2018. The Future of Magazines. The Future of Publishing. Diakses pada 5 Februari 2019.

Artikel Daring
1.      Zuhra, Wan Ulfa Nur. (2017, 8 Februari). Media Cetak Bisa Mati, Jurnalisme (Seharusnya) Tidak. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/media-cetak-bisa-mati-jurnalisme--seharusnya--tidak-ciy6
2.      Adam, Aulia. (2018, 9 Februari). Benarkah Bisnis Media Online Tak Secerah Masa Depan Internet?. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/benarkah-bisnis-media-online-tak-secerah-masa-depan-internet-cEv5
Syafina, Dea Chadiza. (2018, 19 Oktober). Tabloid Bola Tutup dan Sandaran Baru Bisnis Kompas Gramedia Group. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/tabloid-bola-tutup-dan-sandaran-baru-bisnis-kompas-gramedia-group-c7GE

No comments:

Post a Comment