Majalah merupakan salah satu
bentuk media cetak dengan sejarah yang cukup panjang. Majalah mulai berkembang
di Inggris pada tahun 1700-an, berisikan berbagai berita baik fiksi ataupun nonfiksi,
tergantung kebutuhan pembacanya. Ada versi lain dalam buku Media and Culture (2002), R. Campbell mengatakan bahwa majalah
pertama kali muncul di Philadelphia pada tahun 1741, sekitar 50 tahun setelah
munculnya surat kabar. Majalah ini harganya lebih mahal dari surat kabar,
karena itu hanya beberapa orang saja yang bisa membacanya. Karena harganya yang
mahal, majalah sering dibuat dan didistribusikan oleh kelompok khusus, seperti
Gereja. The Saturday Evening Post (1821)
menjadi majalah pertama yang terbit dalam sejarah Amerika. Sayang, pada tahun
1969, majalah ini gulung tikar karena kalah bersaing dengan televisi (Nurudin,
2017: 34-35).
Perjalanan
majalah dalam dunia media tidak lepas dari guncangan. Majalah sempat mengalami
masa keemasan pada awal abad ke-20, dimana menurut Nurudin (2017: 35), majalah
merupakan target utama bagi pemasang iklan, karena majalah memiliki jangkauan luas
dengan sasaran yang khusus (setiap majalah memiliki segmen pembaca
masing-masing). Pada tahun 1958-1960, jumlah judul majalah baru yang terbit di
Amerika mengalami kenaikan hampir dua kali lipat. Mulai tahun 1970, pendapatan
majalah lewat iklan mulai menurun karena banyak orang memilih memasang iklan di
televisi, namun saat itu majalah masih tetap bertahan.
Awan
gelap mulai menyelubungi majalah di era digital saat ini. Kehadiran internet
dan media sosial membuat orang (terutama smartphone)
dapat dengan mudah mencari informasi kapan saja mereka mau. Majalah yang dulu
menjadi salah satu sumber informasi paling komprehensif, perlahan mulai
ditinggalkan, karena kebanyakan informasi yang ditulis di majalah sudah
terlebih dahulu menyebar lewat internet. Ditambah fakta bahwa berita yang
disebarkan di internet kebanyakan dapat diakses secara gratis, membuat publik
semakin enggan untuk membeli majalah.
Contoh
paling nyata di Indonesia adalah tabloid BOLA yang sudah terbit sejak tahun
1984, namun akhirnya harus menyerah pada perkembangan zaman. Tabloid olahraga
yang berada di bawah naungan Kompas Gramedia ini resmi berhenti edar pada 26
Oktober 2018 lalu. Tidak hanya BOLA, Kompas Gramedia juga ‘menyuntik mati’
beberapa tabloid dan majalah mereka pada tahun-tahun sebelumnya, seperti CHIP, Sinyal, Kawanku (Desember
2016), dan majalah anak muda Hai
(Juni 2017), padahal majalah Hai sudah
setia menemani pembacanya sejak tahun 1977 (Syafina, 2018). Hal ini membuktikan
bahwa umur panjang dengan basis konsumen yang banyak belum tentu cukup untuk
menunjang kehidupan sebuah brand majalah,
apabila tidak mampu menarik atensi pangsa pasar baru (generasi muda pengguna
teknologi).
Menyiasati
perubahan zaman, beberapa majalah melakukan konvergensi dengan cara
mengeluarkan versi digital dari majalah mereka yang bisa diakses lewat
internet, atau diunduh lewat aplikasi tertentu. Namun hal ini belum tentu
menjadi juru selamat bagi mereka, seperti majalah Digital Camera Indonesia yang sudah mengeluarkan versi digital
sejak tahun 2012 lewat aplikasi Wayang
Force, namun tetap harus menyerah pada akhir 2017 dan mundur dari perhelatan
majalah di Indonesia. Kembali faktor gratis menjadi momok bagi majalah,
terutama di Indonesia yang penduduknya terkenal dengan slogan, “Kalau bisa
gratis, kenapa harus bayar?”.
Iklan
merupakan penyokong utama bagi kehidupan sebuah majalah, namun keuntungan dari
iklan yang dimuat lewat media online atau majalah digital belum mampu menyamai televisi
atu bahkan media cetak konvensional. Menurut Big Mobile, perusahaan periklanan asal Australia, kue iklan digital
di Indonesia hanya sekitar 17 persen dari total keseluruhan belanja iklan,
dimana pendapatan iklan digital masih didominasi oleh dua raksasa teknologi, Facebook dan Google. Tidak hanya dua perusahaan itu, media online (termasuk
majalah) juga harus berbagi kue dengan influencer
di media sosial untuk mendapatkan view
dan keuntungan sebanyak-banyaknya (Adam, 2018).
Beberapa
media di dunia mencoba mencari keuntungan dengan menerapkan sistem berlangganan
(subscribe) bagi pembaca yang ingin
mendapatkan konten berita secara lengkap. Contohnya adalah Washington Post dan
New York Times di Amerika, dengan jumlah subscriber
yang terus meningkat setiap tahunnya. Apakah ini bisa menjadi solusi untuk
mempertahankan eksistensi majalah di Indonesia? Sepertinya belum tentu, karena menurut
PwG (lembaga survey di Amerika), keuntungan yang disumbang secara digital ini
baru mencapai 16% pada tahun 2015, dan diprediksi baru akan mencapai 30% pada
tahun 2020 (Benedict, 2018). Masalahnya tidak jauh berbeda dari Indonesia,
banyak orang enggan membeli majalah (digital) karena lebih memilih sumber
informasi lain yang gratis, ditambah biaya pemasangan iklan secara digital
biasanya lebih murah dibanding versi cetak sehingga tidak mencetak keuntungan
yang besar bagi perusahaan majalah.
Dengan
keuntungan yang semakin menurun dan persaingan yang ketat, dikhawatirkan
majalah tidak akan lagi memiliki daya tarik seperti dulu, atau artikel yang
ditulis tidak lagi eksklusif dan terpercaya, karena majalah harus menekan
pengeluaran sebesar-besarnya. “Once you
let paper go, you’re just another website. You’re just more space junk floating
around out there,” sebuah peringatan dari David Hepworth (jurnalis musik
dan penulis dari Inggris) mengenai majalah yang seolah kehilangan pesonanya
saat beralih ke versi digital (Benedict, 2018).
Peralihan
menuju dunia digital dan internet memang tidak bisa dihindari, namun setidaknya
majalah harus tetap menjaga kualitas tulisan mereka agar tetap relevan dan
dipercaya pembaca. Jangan menjadi seperti banyak portal online yang hanya mengandalkan
kecepatan, namun informasi tidak mendetail, bahkan kadang mengandung
kekeliruan. Menurut Andreas Harsono (pendiri yayasan Pantau dan pengajar
jurnalisme), kualitas jurnalisme di platform digital harus tetap bermutu dan
tidak lebih rendah dari versi cetaknya, atau berpotensi merusak brand majalah atau media cetak itu
sendiri (Zuhra, 2017).
Daftar Pustaka
Buku
1.
Nurudin.
2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
Jurnal
1.
Benedict, Catherine.
2018. The Future of the Magazine Industry. Journal.businesstoday.org.
Diakses pada 5 Februari 2019.
2.
Mcilroy,
Thad. 2018. The Future of Magazines. The
Future of Publishing. Diakses pada 5 Februari 2019.
Artikel Daring
1. Zuhra, Wan Ulfa Nur.
(2017, 8 Februari). Media Cetak Bisa
Mati, Jurnalisme (Seharusnya) Tidak. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/media-cetak-bisa-mati-jurnalisme--seharusnya--tidak-ciy6
2. Adam, Aulia. (2018, 9
Februari). Benarkah Bisnis Media Online
Tak Secerah Masa Depan Internet?. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/benarkah-bisnis-media-online-tak-secerah-masa-depan-internet-cEv5
Syafina, Dea Chadiza. (2018, 19 Oktober). Tabloid Bola Tutup dan Sandaran Baru Bisnis
Kompas Gramedia Group. Diakses pada 6 Februari 2019, dari https://tirto.id/tabloid-bola-tutup-dan-sandaran-baru-bisnis-kompas-gramedia-group-c7GE
No comments:
Post a Comment