Film merupakan salah satu
bentuk media yang masih sangat populer di masa sekarang. Meski identik dengan
televisi, sejarah film sudah dimulai lebih awal. Menurut Nurudin (2017: 39),
asal muasal film bermula pada tahun 1889, saat George Estman membeli hak paten
dari Hannibal Goodwin untuk memproduksi film. Film pertama yang ditayangkan
untuk umum diproduksi oleh Lumiere bersaudara pada tahun 1895 berjudul “Train Entering the Station”. Film
tersebut ditayangkan di sebuah kafe di Paris, dan setiap malam ada sekitar
2.500 orang yang menonton.
William Dickson (asisten Thomas Alva Edison) kemudian
mengembangkan Kinetograph (kamera
film awal), dan Kinetoscope (sistem
melihat film). Kedua alat tersebut bertujuan supaya pengambilan gambar bisa
dilakukan dengan lebih baik dan penonton dapat melihat film dengan lebih jelas.
Pada tahun 1896, George Melies membuka bioskop yang pertama di Perancis.
Menurut Campbell seperti yang ditulis oleh Nurudin (2017: 39), film pendek menjadi
salah satu hiburan utama bagi masyarakat Amerika pada awal 1900-an.
Rata-rata pengunjung bioskop setiap
minggu mencapai 40 juta penonton pada tahun 1922, hal ini membuktikan bahwa
film sudah sangat populer di masa itu.
Popularitas film sempat mengalami fluktuasi pada tahun
1950-an dikarenakan kehadiran televisi. Kemunculan berbagai media penyimpanan
data, dimulai dari Laserdisc, Compact Disc (CD), Digital Versatile Disc (DVD), hingga yang terbaru Blu-Ray Disc (BD), membuat konsumen tidak lagi harus datang ke bioskop
untuk dapat menyaksikan film. Terlebih kehadiran BD yang memiliki kapasitas
besar (antara 25–100 GigaByte) per
keping, membuat film dapat ditayangkan dengan format High Definition (HD), bahkan sekarang mencapai 4K (resolusi empat
kali lipat Full HD), membuat tampilan
film BD dapat melebihi apa yang ditampilkan di bioskop (asalkan juga didukung
oleh televisi yang memadai). Terlebih lagi, film yang dirilis dalam format BD
biasa memiliki tambahan konten atau adegan yang tidak ada di versi bioskopnya. Meski
begitu, ada satu faktor yang tidak bisa dikalahkan dari film bioskop,
aktualitas.
Mayoritas (atau bahkan semua) film, terutama Hollywood
pasti akan selalu tayang di bioskop terlebih dahulu sebelum disusul oleh versi
fisik atau digital beberapa bulan kemudian, dengan catatan bahwa film-film
tersebut lolos sensor, dan dapat ditayangkan di bioskop-bioskop dalam negeri.
Hal inilah yang menjadi alasan utama kenapa banyak orang, terutama generasi
muda, tetap gemar datang ke bioskop. Menurut Wahyuni (2014: 51), alasan mengapa
film begitu digemari publik adalah karena sifatnya yang sangat menghibur,
beberapa genre bahkan dapat
memengaruhi, menginspirasi, atau memberikan pengetahuan bagi penonton, seperti
film biografi, anti perang, atau arti hidup dan kemanusiaan.
Layaknya media-media lain, film juga tidak bisa lepas
dari perkembangan zaman. Tidak hanya dari segi penonton dan bioskop, perubahan
juga terjadi dalam proses pembuatan film. Satu teknologi yang paling sering
digunakan dalam dunia Hollywood adalah ‘Green
Screen’. Warna hijau digunakan karena sensor kamera digital modern paling
peka terhadap warna hijau (Zhi, 2015: 1). Teknik ini menggunakan backdrop (latar belakang) berwarna hijau
(atau kadang biru, sesuai kebutuhan) saat pengambilan gambar/adegan. Saat
proses penyuntingan, layer aktor/aktris
dapat dipisahkan dari backdrop dan
ditempatkan di latar belakang lain sesuai adegan tanpa kehilangan detail-detail
penting seperti rambut atau bulu. Metode ini paling sering digunakan dalam film
fantasi atau sains fiksi, dimana hampir mustahil menghadirkan setting yang sesuai dengan cerita (luar
angkasa, pulau yang melayang di langit), selain tentunya menghemat biaya yang
dulunya diperlukan untuk membuat diorama setting.
Tidak
hanya setting, teknik ini juga dapat
digunakan untuk mengubah rupa atau pakaian pemain. Aktor akan memakai baju
hijau saat pengambilan gambar, sehingga
tampak menyatu dengan latar belakang. Digabungkan dengan teknologi Motion Capture (Mocap), kedua teknik ini
dapat menghasilkan karakter, baik berwujud humanoid
(mirip manusia) atau tidak, dengan gerakan yang lebih fluid, dinamis, halus, serta memiliki mimik wajah yang sangat
ekspresif, karena mengikuti gerakan dari aktor yang bersangkutan. Dua contoh
film yang menggunakan kedua teknik ini adalah Avatar (2009) dan Alita:
Battle Angel (2019), keduanya merupakan besutan James Cameron (sutradara
Hollywood ternama yang juga membuat film Titanic). Dalam Avatar, bisa kita lihat saat semua aktor yang berperan sebagai bangsa
Na’vi dapat dikonversi dengan sempurna ke dalam wujud yang berbeda (makhluk humanoid setinggi lebih dari tiga meter,
berkulit biru dengan buntut) dalam setting
yang luar biasa indah dan seolah tampak nyata. Ini merupakan nilai ‘magis’ dari
teknik Green Screen dan Mocap, dapat membuat
apa yang selama ini fantasi belaka menjadi nyata dan dapat disaksikan penonton.
Green Screen memang memberi banyak keuntungan, terutama saat
pengambilan gambar dimana dapat menghemat banyak waktu dan uang, tapi teknik
ini bukan tanpa kelemahan. Proses penyuntingan membutuhkan waktu yang lama dan
ketelitian yang luar biasa, bila dilakukan dengan buruk maka hasil dapat
terlihat tidak realistis (karakter tidak tampak menyatu dengan latar belakang).
Diperlukan juga peralatan komputer yang sangat canggih dalam skala besar, dan
tentu tidak murah supaya dapat melakukan proses penyuntingan dan rendering untuk menyelesaikan film.
Mengambil
penjelasan dari Geek.com yang ditulis oleh Osborne (2009), proses render dari film Avatar membutuhkan perangkat komputer sebanyak 34 rak, masing-masing
rak terdiri atas 32 mesin, dengan total 40.000 prosesor dan 104 TeraByte memori (RAM). Jaringan komputer
tersebut menjalankan tugas rendering
sebanyak 1,4 juta operasi setiap harinya, yang terdiri atas pemrosesan 8 GigaByte data per detik, dan dijalankan
penuh 24 jam selama lebih dari sebulan. Dapat dibayangkan betapa besar biaya
serta usaha yang diperlukan untuk membuat maha karya seperti Avatar, sangat memukau, namun juga
sangat mahal.
Daftar Pustaka
Buku
1.
Nurudin.
2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
2.
Wahyuni,
Isti Nursih. 2014. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jurnal
1. Zhi, Jin. 2015. An Alternative Green Screen Keying
Method For Film Visual Effects. The
International Journal of Multimedia & Its Application (IJMA) Vol. 7,
No. 2, April 2015, DOI :
10.5121/ijma.2015.7201. Diunduh pada 19 Februari
2019.
Artikel Daring
1. Osborne, Doug. (2009, 24 Desember). The Computing Power That Created Avatar.
Diakses pada 20 Februari 2019, dari https://www.geek.com/chips/the-computing-power-that-created-avatar-1031232/
No comments:
Post a Comment