Search This Blog

Thursday, February 21, 2019

Radio: Dulu dan Sekarang


               Mendengar kata ‘radio’ mungkin dalam benak kita akan langsung terbayang sebuah siaran yang hanya berupa suara tanpa gambar, yang biasa kita dengarkan di mobil atau rumah. Siaran radio sendiri merupakan salah satu bentuk dari pemanfaatan gelombang radio sebagai media komunikasi, baik antar pribadi maupun untuk komunikasi massa (Minnesota, 2016). Kedua fungsi tersebut masih dijalankan hingga sekarang, dan kebanyakan orang akan mengasosiasikan kata ‘radio’ dengan stasiun radio yang melakukan penyiaran untuk publik. Gelombang radio sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk penyiaran audio/suara saja, namun juga dapat digunakan untuk televisi dan telepon selular, menjadikannya salah satu saluran informasi yang paling penting.

               Orang yang pertama kali memperkenalkan teknologi radio adalah Guglielmo Marconi. Dirinya terinspirasi oleh Hienrich Hertz, terutama hasil penelitiannya mengenai komunikasi nirkabel. Marconi lalu mencoba meniru eksperimen Hertz dan berhasil mengirimkan transmisi dari satu sisi loteng rumahnya ke sisi yang lain. Awalnya Marconi ingin meminta bantuan pemerintah Italia untuk penelitiannya, namun karena pemerintah Italia tidak menunjukkan respon positif, Marconi pindah ke Inggris untuk mematenkan teknologi ciptaannya. Pada mulanya, teknologi radio Marconi hanya digunakan kapal laut untuk mengirimkan pesan ke kapal lain dan pos pelabuhan (Nurudin, 2017: 41), dan belum digunakan untuk penyiaran.

               Pada 1910, Enrico Caruso merintis siaran radio. Perkembangan siaran radio terus mengalami kemajuan, sampai beberapa perusahaan Amerika membeli hak paten dari Marconi dan membentuk Radio Corporation of America (RCA). Pada tanggal 1 Januari 1922, Menteri Perdagangan Amerika telah mengeluarkan 30 izin siaran, dan jumlah itu terus meningkat menjadi 556 lisensi pada awal 1923. Penetrasi radio di rumah tangga Amerika mencapai 40% pada 1930, dan mencapai jumlah yang singnifikan yakni 90% pada tahun 1947 (Nurudin, 2017: 41-42).
              
               Masa keemasan radio terjadi sekitar tahun 1930 hingga 1950-an. Cukup miris, mengingat dunia sedang terguncang akibat berbagai perang, terutama Perang Dunia ke-2 pada masa itu. Satu hal yang membuat radio populer pada masa itu adalah fakta bahwa ia gratis, sehingga menjadi sumber informasi dan hiburan yang berharga bagi banyak masyarakat kurang mampu. Radio merupakan salah satu bentuk media massa paling awal dan memiliki jadwalnya sendiri. Masyarakat yang selama ini hanya mencari informasi lewat media cetak seperti koran atau buku, mulai beralih ke radio karena menghadirkan pengalaman yang berbeda yang turut mengubah gaya hidup mereka.

               Kehadiran televisi pada tahun 1950-an membuat banyak orang berpikir bahwa radio akan musnah, karena televisi memiliki sesuatu yang tidak dimiliki radio yaitu gambar. Gabungan dari audio dan visual membuat televisi mampu memberikan informasi yang lebih jelas dan detail deibandingkan dengan radio. Nyatanya, radio tetap mampu bertahan hingga sekarang. Menurut Wahyuni (2014: 50) hal itu dikarenakan sifat radio yang luwes dan lebih fleksibel dibandingkan televisi. Radio siaran dapat didengarkan di mana saja dan lewat banyak perangkat, tidak seperti siaran televisi yang mutlak memerlukan media televisi. Bahkan radio biasanya tetap dapat digunakan saat terjadi bencana alam, seperti gempa Yogya 2006, dimana radio memiliki peranan penting dalam penyebaran informasi karena televisi tidak bisa diakses (listrik mati). Banyak iklan sudah beralih ke televisi, namun radio tetap memiliki kemampuan menjual bagi sebagian masyarakat, dikarenakan sifatnya yang memang ditujukan bagi kelompok-kelompok khusus (misalkan penggemar budaya dan musik Jepang). Radio juga tetap menjadi salah satu media penghibur saat bersantai, bekerja, atau terjebak macet di jalanan (dalam mobil).
              
               Radio yang dulu sangat populer di kalangan muda-mudi sebagai media hiburan dan sumber informasi, mulai tergerus popularitasnya semenjak kehadiran internet dan layanan streaming musik seperti Spotify atau Apple Music. Berdasarkan data dari Music Business Association pada tahun 2016 dalam artikel Austin (2017), generasi Z (mereka yang lahir setelah tahun 1995), hanya menghabiskan 12 persen waktu mereka untuk mendengarkan radio, dimana setengah lebih waktu mereka digunakan untuk mendengarkan layanan streaming musik digital atau Youtube. Berdasarkan statistik yang dilakukan pada remaja umur 13-18 tahun di Amerika, terjadi penurunan pendengar radio AM/FM sebesar hampir 50% dalam rentang waktu 2005 hingga 2016 (Miller, 2017: 10).

               Salah satu area dimana radio masih mampu bersinar adalah mobil. Pengemudi mobil masih banyak yang mendengarkan radio saat sedang berkendara, terutama saat terjebak dalam kemacetan, sekedar untuk hiburan atau mencari informasi lalu lintas. Namun, hal ini juga mulai tergerus oleh kehadiran perangkat media pintar yang sudah banyak terintegrasi, terutama di mobil-mobil keluaran baru. Perangkat ini dapat dengan mudah terkoneksi dengan smartphone dan internet, membuat banyak pengemudi muda lebih memilih mendengarkan musik yang ada di gawai pintar mereka dibandingkan mendengarkan siaran radio. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa banyak produsen gawai pintar memilih untuk tidak lagi membenamkan chip FM untuk menangkap sinyal radio lewat gawai buatan mereka. Hal ini seolah menunjukkan bahwa banyak perusahaan melihat radio sebagai ‘masa lalu’ dan sudah tidak relevan bagi masyarakat modern (Miller, 2017: 14).

               Dengan sejarah yang panjang, radio diharapkan tetap mampu bertahan di tengah gempuran digitalisasi yang terjadi saat ini. Masih ada beberapa penyedia layanan radio yang meilhat gawai pintar (smartphone, podcast, dan smart speaker) sebagai ancaman, serta menolak untuk berubah demi mempertahankan ‘keasilan’ dari radio. Menurut Gordon Borrell dari Asosiasi Borrell, radio konvensional harus memanfaatkan media digital sebagai aset untuk menjangkau konsumen-konsumen baru (anak muda). “Untuk berkembang, radio harus menyadari bahwa peran mereka bukan untuk menjual spot radio (iklan lewat siaran radio), namun juga memanfaatkan berbagai iklan digital dan layanan lain untuk menarik minat konsumen mereka”, terang Borrell (Ely, 2018). Radio harus mampu bertransformasi dan merangkul digitalisasi untuk menghadirkan konten yang lebih menarik, aktual, dan mudah diakses oleh siapapun agar tetap relevan bagi masyarakat modern.


Daftar Pustaka :
Buku
1.      Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
2.      Wahyuni, Isti Nursih. 2014. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jurnal
1.      Miller, Larry S.. 2017. Paradigm Shift: Why Radio Must Adapt To The Rise Of Digital. The National Association of Broadcasters, diakses pada 12 Februari 2019.
2.      Minnesota, University of. 2010. Understanding Media and Culture: An Introduction to Mass Communication, diakses pada 12 Februari 2019.

Artikel Daring
1.      Austin, Mark (2017). Will ‘Generation Z’ Spell The End of Traditional Terrestrial AM/FM Radio?. Diakses pada 12 Februari 2019, dari https://www.digitaltrends.com/music/future-of-radio/
Ely, Gene (2018, 30 Maret). Radio Big Challenge: Finding Its Way Forward in This New Digital World. Diakses pada 12 Februari 2019, dari https://www.forbes.com/sites/geneely/2018/03/30/radios-big-challenge-finding-its-way-forward-in-this-new-digital-world/#710f8ee55a26

No comments:

Post a Comment