Mendengar
kata ‘radio’ mungkin dalam benak kita akan langsung terbayang sebuah siaran
yang hanya berupa suara tanpa gambar, yang biasa kita dengarkan di mobil atau
rumah. Siaran radio sendiri merupakan salah satu bentuk dari pemanfaatan
gelombang radio sebagai media komunikasi, baik antar pribadi maupun untuk
komunikasi massa (Minnesota, 2016). Kedua fungsi tersebut masih dijalankan
hingga sekarang, dan kebanyakan orang akan mengasosiasikan kata ‘radio’ dengan
stasiun radio yang melakukan penyiaran untuk publik. Gelombang radio sebenarnya
tidak hanya berfungsi untuk penyiaran audio/suara saja, namun juga dapat
digunakan untuk televisi dan telepon selular, menjadikannya salah satu saluran
informasi yang paling penting.
Orang
yang pertama kali memperkenalkan teknologi radio adalah Guglielmo Marconi.
Dirinya terinspirasi oleh Hienrich Hertz, terutama hasil penelitiannya mengenai
komunikasi nirkabel. Marconi lalu mencoba meniru eksperimen Hertz dan berhasil
mengirimkan transmisi dari satu sisi loteng rumahnya ke sisi yang lain. Awalnya
Marconi ingin meminta bantuan pemerintah Italia untuk penelitiannya, namun
karena pemerintah Italia tidak menunjukkan respon positif, Marconi pindah ke
Inggris untuk mematenkan teknologi ciptaannya. Pada mulanya, teknologi radio Marconi
hanya digunakan kapal laut untuk mengirimkan pesan ke kapal lain dan pos
pelabuhan (Nurudin, 2017: 41), dan belum digunakan untuk penyiaran.
Pada
1910, Enrico Caruso merintis siaran radio. Perkembangan siaran radio terus
mengalami kemajuan, sampai beberapa perusahaan Amerika membeli hak paten dari
Marconi dan membentuk Radio Corporation
of America (RCA). Pada tanggal 1 Januari 1922, Menteri Perdagangan Amerika
telah mengeluarkan 30 izin siaran, dan jumlah itu terus meningkat menjadi 556
lisensi pada awal 1923. Penetrasi radio di rumah tangga Amerika mencapai 40%
pada 1930, dan mencapai jumlah yang singnifikan yakni 90% pada tahun 1947
(Nurudin, 2017: 41-42).
Masa
keemasan radio terjadi sekitar tahun 1930 hingga 1950-an. Cukup miris,
mengingat dunia sedang terguncang akibat berbagai perang, terutama Perang Dunia
ke-2 pada masa itu. Satu hal yang membuat radio populer pada masa itu adalah
fakta bahwa ia gratis, sehingga menjadi sumber informasi dan hiburan yang
berharga bagi banyak masyarakat kurang mampu. Radio merupakan salah satu bentuk
media massa paling awal dan memiliki jadwalnya sendiri. Masyarakat yang selama
ini hanya mencari informasi lewat media cetak seperti koran atau buku, mulai
beralih ke radio karena menghadirkan pengalaman yang berbeda yang turut
mengubah gaya hidup mereka.
Kehadiran
televisi pada tahun 1950-an membuat banyak orang berpikir bahwa radio akan
musnah, karena televisi memiliki sesuatu yang tidak dimiliki radio yaitu
gambar. Gabungan dari audio dan visual membuat televisi mampu memberikan
informasi yang lebih jelas dan detail deibandingkan dengan radio. Nyatanya,
radio tetap mampu bertahan hingga sekarang. Menurut Wahyuni (2014: 50) hal itu
dikarenakan sifat radio yang luwes dan lebih fleksibel dibandingkan televisi.
Radio siaran dapat didengarkan di mana saja dan lewat banyak perangkat, tidak
seperti siaran televisi yang mutlak memerlukan media televisi. Bahkan radio
biasanya tetap dapat digunakan saat terjadi bencana alam, seperti gempa Yogya
2006, dimana radio memiliki peranan penting dalam penyebaran informasi karena
televisi tidak bisa diakses (listrik mati). Banyak iklan sudah beralih ke
televisi, namun radio tetap memiliki kemampuan menjual bagi sebagian masyarakat,
dikarenakan sifatnya yang memang ditujukan bagi kelompok-kelompok khusus
(misalkan penggemar budaya dan musik Jepang). Radio juga tetap menjadi salah
satu media penghibur saat bersantai, bekerja, atau terjebak macet di jalanan
(dalam mobil).
Radio
yang dulu sangat populer di kalangan muda-mudi sebagai media hiburan dan sumber
informasi, mulai tergerus popularitasnya semenjak kehadiran internet dan
layanan streaming musik seperti Spotify atau Apple Music. Berdasarkan data dari Music Business Association pada tahun 2016 dalam artikel Austin (2017),
generasi Z (mereka yang lahir setelah tahun 1995), hanya menghabiskan 12 persen
waktu mereka untuk mendengarkan radio, dimana setengah lebih waktu mereka
digunakan untuk mendengarkan layanan streaming musik digital atau Youtube. Berdasarkan statistik yang
dilakukan pada remaja umur 13-18 tahun di Amerika, terjadi penurunan pendengar
radio AM/FM sebesar hampir 50% dalam rentang waktu 2005 hingga 2016 (Miller,
2017: 10).
Salah
satu area dimana radio masih mampu bersinar adalah mobil. Pengemudi mobil masih
banyak yang mendengarkan radio saat sedang berkendara, terutama saat terjebak
dalam kemacetan, sekedar untuk hiburan atau mencari informasi lalu lintas.
Namun, hal ini juga mulai tergerus oleh kehadiran perangkat media pintar yang
sudah banyak terintegrasi, terutama di mobil-mobil keluaran baru. Perangkat ini
dapat dengan mudah terkoneksi dengan smartphone
dan internet, membuat banyak pengemudi muda lebih memilih mendengarkan
musik yang ada di gawai pintar mereka dibandingkan mendengarkan siaran radio.
Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa banyak produsen gawai pintar memilih
untuk tidak lagi membenamkan chip FM untuk menangkap sinyal radio lewat gawai
buatan mereka. Hal ini seolah menunjukkan bahwa banyak perusahaan melihat radio
sebagai ‘masa lalu’ dan sudah tidak relevan bagi masyarakat modern (Miller,
2017: 14).
Dengan
sejarah yang panjang, radio diharapkan tetap mampu bertahan di tengah gempuran
digitalisasi yang terjadi saat ini. Masih ada beberapa penyedia layanan radio
yang meilhat gawai pintar (smartphone,
podcast, dan smart speaker)
sebagai ancaman, serta menolak untuk berubah demi mempertahankan ‘keasilan’
dari radio. Menurut Gordon Borrell dari Asosiasi Borrell, radio konvensional
harus memanfaatkan media digital sebagai aset untuk menjangkau
konsumen-konsumen baru (anak muda). “Untuk berkembang, radio harus menyadari
bahwa peran mereka bukan untuk menjual spot radio (iklan lewat siaran radio),
namun juga memanfaatkan berbagai iklan digital dan layanan lain untuk menarik
minat konsumen mereka”, terang Borrell (Ely, 2018). Radio harus mampu
bertransformasi dan merangkul digitalisasi untuk menghadirkan konten yang lebih
menarik, aktual, dan mudah diakses oleh siapapun agar tetap relevan bagi
masyarakat modern.
Daftar
Pustaka :
Buku
1.
Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi
Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
2.
Wahyuni, Isti Nursih. 2014.
Komunikasi Massa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jurnal
1.
Miller, Larry S.. 2017. Paradigm
Shift: Why Radio Must Adapt To The Rise Of Digital. The National Association of Broadcasters, diakses pada 12 Februari
2019.
2.
Minnesota, University of. 2010.
Understanding Media and Culture: An Introduction to Mass Communication, diakses
pada 12 Februari 2019.
Artikel
Daring
1.
Austin, Mark (2017). Will ‘Generation Z’ Spell The End of
Traditional Terrestrial AM/FM Radio?. Diakses pada 12 Februari 2019, dari https://www.digitaltrends.com/music/future-of-radio/
Ely, Gene (2018, 30 Maret). Radio Big Challenge: Finding Its Way Forward in This New Digital World.
Diakses pada 12 Februari 2019, dari https://www.forbes.com/sites/geneely/2018/03/30/radios-big-challenge-finding-its-way-forward-in-this-new-digital-world/#710f8ee55a26
No comments:
Post a Comment