Search This Blog

Wednesday, January 30, 2019

Surat Kabar : Menjaga Identitas dalam Perkembangan Teknologi dan Kebebasan Berpendapat

             Surat kabar (koran) merupakan bentuk media massa tertua di dunia, tercatat koran pertama terbit di Amerika Utara pada tahun 1690 dengan nama “Publick Occurences Both Foreign and Domestick” yang terdiri dari beberapa halaman saja. Baru pada tahun 1830-an muncul surat kabar yang bisa dikatakan sukses di New York, dikatakan sukses karena surat kabar tersebut bisa disebarkan ke negara-negara taklukkan Eropa (new world), serta meningkatkan minat baca masyarakat Amerika secara signifikan, terutama setelah revolusi industri yang memangkas biaya produksi koran sehingga daya beli masyarakat ikut bertambah (Nurudin, 2017: 33-34).

               Pada masa itu, surat kabar sering digunakan sebagai media untuk memberitakan tentang perang sipil atau konflik lain. Persaingan antara surat kabar semakin meningkat pada tahun 1880-an, ditambah kebutuhan masyarakat akan informasi yang semakin meningkat, membuat beberapa surat kabar sering memilih judul yang cenderung bombastis, sensasional, dan kadang terlalu didramatisir, namun hal inilah yang menjadi cikal-bakal dari praktik jurnalisme modern (Nurudin, 2017:34).

Sejarah membuktikan bahwa konflik dalam komunikasi media paling sering terjadi antara pihak berwenang (yang bertugas menjaga keteraturan negara) dan pers yang menginginkan kebebasan berekspresi tanpa batas (Kaul, 2012: 3). Hal inilah yang terjadi pada masa Orde Baru, banyak pers dibredel atau dicabut izin terbitnya karena memberitakan sesuatu yang dianggap mengkritik pemerintahan. Surat kabar sebagai salah satu media massa simbol kebebasan berpendapat masyarakat justru malah dikekang di dalam sebuah negara demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi aspirasi masyarakat. Praktik ini berkurang drastis setelah Reformasi, dimana hak-hak pers telah dikembalikan sepenuhnya. Meski menurut Kaul (2012: 2), di seluruh dunia masih terdapat kurang lebih delapan puluh dua jenis sensor yang sering dipraktekkan, baik oleh pihak berwajib atau badan pers itu sendiri.

Kebebasan berpendapat semakin terlihat di masa modern ini, dimana teknologi telah berkembang dengan pesat. Internet membawa angin segar bagi kegiatan berkomunikasi dan berpendapat manusia. Lewat media sosial misalnya, seseorang dapat dengan mudah mencari berbagai informasi yang bahkan mungkin belum naik cetak di surat kabar atau televisi. Hal ini membuat generasi muda cenderung mencari informasi lewat media sosial karena dianggap jauh lebih aktual dan interaktif (menarik). Hal ini juga memperlihatkan kekuatan media sosial sebagai media baru, terlebih statistik menunjukkan terdapat 600 juta pengguna Facebook pada akhir 2010, dan 175 juta pengguna Twitter pada September 2010, mengisyaratkan seberapa populer media sosial di kalangan para pengguna teknologi.

Hal ini tentu bukan tanpa alasan, media sosial dianggap sebagai cara baru untuk menunjukkan eksistensi diri dan kebebasan berpendapat. Menurut Kaul (2012: 2), teknologi baru seperti media sosial memberikan kekuatan yang baru, mampu membengkokkan nalar, mentransformasi institusi, membebaskan pikiran, namun juga bersifat menekan dan memunculkan konsekuensi serta resiko baru yang belum pernah ditemui di media konvensional. Selain berbagai faktor tersebut, kebanyakan konten yang beredar di media sosial juga bisa lolos dari sensor, sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi yang sebenar-benarnya lewat media sosial, dibandingkan dengan berita yang dimuat di surat kabar atau televisi.

Karena fenomena ini, minat baca masyarakat terhadap surat kabar menurun cukup signifikan. Masyarakat merasa sudah cukup mendapatkan informasi lewat berita yang beredar di media sosial. Tentu saja hal ini menimbulkan berbagai resiko, tidak adanya sensor di media sosial memang memberikan keleluasaan dalam penyebaran informasi, namun hal itu juga membuat berita-berita yang belum/tidak jelas validitasnya mudah menyebar, sehingga resiko manipulasi fakta dan informasi sangat rentan terjadi.

Untuk menyiasati masalah ini, beberapa surat kabat membuka portal berita online yang biasa diakses kapan saja lewat jaringan internet, misalnya Kompas dan Tempo. Portal berita online memberikan keleluasaan pada masyarakat untuk mengakses berita secara cepat, sangat aktual, dan lebih terjamin kredibilitasnya dibanding dengan informasi yang beredar lewat media sosial. Tapi, portal berita online bukannya tanpa kelemahan, berita yang ditulis di portal online cenderung lebih singkat, tidak terlalu mendetail, dan kadang mengalami beberapa revisi karena penulis/jurnalis online mengejar waktu supaya artikel bisa di-post secepat mungkin, namun kadang hal itu membuat artikel online mengandung beberapa kekeliruan (walau biasa tidak terlalu parah).

Teknologi informasi telah merubah dunia jurnalisme secara total. Kehadiran internet telah mendobrak batasan bahwa media tradisional adalah satu-satunya sumber informasi. Jaringan internet membentuk sesuatu yang disebut networksociety, dalam komunitas ini terdapat pengguna baru yang disebut ‘prosumer’ (Pont-Sorribes, 2013: 1).  Pengguna ini tidak hanya merupakan konsumen informasi yang aktif, namun juga turut menjadi penulis dan penyebar informasi, contoh paling nyata dari komunitas ini adalah media sosial. Terkadang, jurnalis pers juga turut mencari informasi lewat media sosial. Teknologi telah menjadi alat baru bagi jurnalis untuk mendapatkan referensi secara cepat. Sisi positifnya menurut Pont-Sorribes (2013: 1), 80% jurnalis mengatakan bahwa media online membuat interaksi dengan pembaca berjalan dengan lebih lancar, dan mereka bisa mendapatkan umpan balik lebih cepat tentang artikel yang mereka tulis.

Satu kekhawatiran yang muncul dari tendensi ini adalah timbulnya sesuatu yang disebut sebagai pseudoscience atau kebenaran semu. Sebuah fakta tidak benar yang disebarkan secara terus-menerus lewat media online (sosial) sehingga lama-kelamaan akan menarik perhatian dari sekelompok orang, dan bahkan diakui sebagai sebuah kebenaran oleh kelompok tersebut, dan jurnalis yang harusnya berperan sebagai agen kebenaran, malah ikut menyebarkan kebenaran semu tersebut semata-mata demi mendapatkan tulisan yang menarik di mata masyarakat, Contoh kasus yang paling jelas adalah munculnya kelompok penganut kepercayaan bumi datar, menyebar dan mencari pengikut lewat media sosial yang minim sensor konten.

Ada bukti nyata yang menyiratkan bahwa ada perubahan yang terjadi dalam dunia jurnalisme profesional. Jurnalisme pers, terutama media cetak, harus beradaptasi dengan media baru tanpa melupakan resep lama dalam penulisan dan produksi naskah berita. Mencari informasi, mengklarifikasi informasi, mencocokkan dengan fakta, baru menyebarkan berita. Mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan, niscaya akan bertahan di dunia yang berjalan dengan cepat dan cenderung tak kenal ampun ini (Pont-Sorribes, 2013: 1).


Daftar Pustaka :
·        Buku :
1.   Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajawali Pers.
2.  Junaedi, Fajar, Ishadi S.K. dan Diyah Ayu Rahmitasari. 2017. Manajemen Media di Indonesia. Jakarta: Obor.
3.  Yaumi, Muhammad. 2018. Media & Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Prenadamedia Group. 
·        Jurnal :

  1.  Kaul, Vineet. 2012. The Pros and Cons of New Media and Media Freedom. Journal of Mass Communication & Journalism, Volume 2, Issue 5 doi: 10.4172/2165-7912.1000114. Diunduh pada 21 Januari 2019.
  2. Pont-Sorribes, Carles dan Sergi Cortinas-Rovira. 2013. New Media, Old Journalistic Work Routines. Journal of Mass Communication & Journalism, Volume 3, Issue 4 doi:10.4172/2165-7912.1000e142. Diunduh pada 21 Januari 2019.

No comments:

Post a Comment