Surat kabar (koran) merupakan bentuk media massa
tertua di dunia, tercatat koran pertama terbit di Amerika Utara pada tahun 1690
dengan nama “Publick Occurences Both
Foreign and Domestick” yang terdiri dari beberapa halaman saja. Baru pada
tahun 1830-an muncul surat kabar yang bisa dikatakan sukses di New York,
dikatakan sukses karena surat kabar tersebut bisa disebarkan ke negara-negara
taklukkan Eropa (new world), serta
meningkatkan minat baca masyarakat Amerika secara signifikan, terutama setelah
revolusi industri yang memangkas biaya produksi koran sehingga daya beli
masyarakat ikut bertambah (Nurudin, 2017: 33-34).
Pada
masa itu, surat kabar sering digunakan sebagai media untuk memberitakan tentang
perang sipil atau konflik lain. Persaingan antara surat kabar semakin meningkat
pada tahun 1880-an, ditambah kebutuhan masyarakat akan informasi yang semakin
meningkat, membuat beberapa surat kabar sering memilih judul yang cenderung
bombastis, sensasional, dan kadang terlalu didramatisir, namun hal inilah yang
menjadi cikal-bakal dari praktik jurnalisme modern (Nurudin, 2017:34).
Sejarah membuktikan bahwa konflik
dalam komunikasi media paling sering terjadi antara pihak berwenang (yang
bertugas menjaga keteraturan negara) dan pers yang menginginkan kebebasan berekspresi
tanpa batas (Kaul, 2012: 3). Hal inilah yang terjadi pada masa Orde Baru, banyak
pers dibredel atau dicabut izin terbitnya karena memberitakan sesuatu yang
dianggap mengkritik pemerintahan. Surat kabar sebagai salah satu media massa
simbol kebebasan berpendapat masyarakat justru malah dikekang di dalam sebuah
negara demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi aspirasi masyarakat. Praktik
ini berkurang drastis setelah Reformasi, dimana hak-hak pers telah dikembalikan
sepenuhnya. Meski menurut Kaul (2012: 2), di seluruh dunia masih terdapat
kurang lebih delapan puluh dua jenis sensor yang sering dipraktekkan, baik oleh
pihak berwajib atau badan pers itu sendiri.
Kebebasan berpendapat semakin
terlihat di masa modern ini, dimana teknologi telah berkembang dengan pesat.
Internet membawa angin segar bagi kegiatan berkomunikasi dan berpendapat
manusia. Lewat media sosial misalnya, seseorang dapat dengan mudah mencari
berbagai informasi yang bahkan mungkin belum naik cetak di surat kabar atau televisi.
Hal ini membuat generasi muda cenderung mencari informasi lewat media sosial
karena dianggap jauh lebih aktual dan interaktif (menarik). Hal ini juga memperlihatkan
kekuatan media sosial sebagai media baru, terlebih statistik menunjukkan terdapat
600 juta pengguna Facebook pada akhir 2010, dan 175 juta pengguna Twitter pada
September 2010, mengisyaratkan seberapa populer media sosial di kalangan para pengguna
teknologi.
Hal ini tentu bukan tanpa
alasan, media sosial dianggap sebagai cara baru untuk menunjukkan eksistensi
diri dan kebebasan berpendapat. Menurut Kaul (2012: 2), teknologi baru seperti
media sosial memberikan kekuatan yang baru, mampu membengkokkan nalar, mentransformasi
institusi, membebaskan pikiran, namun juga bersifat menekan dan memunculkan konsekuensi
serta resiko baru yang belum pernah ditemui di media konvensional. Selain
berbagai faktor tersebut, kebanyakan konten yang beredar di media sosial juga
bisa lolos dari sensor, sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi yang sebenar-benarnya
lewat media sosial, dibandingkan dengan berita yang dimuat di surat kabar atau
televisi.
Karena fenomena ini, minat
baca masyarakat terhadap surat kabar menurun cukup signifikan. Masyarakat
merasa sudah cukup mendapatkan informasi lewat berita yang beredar di media
sosial. Tentu saja hal ini menimbulkan berbagai resiko, tidak adanya sensor di
media sosial memang memberikan keleluasaan dalam penyebaran informasi, namun
hal itu juga membuat berita-berita yang belum/tidak jelas validitasnya mudah menyebar,
sehingga resiko manipulasi fakta dan informasi sangat rentan terjadi.
Untuk menyiasati masalah ini,
beberapa surat kabat membuka portal berita online yang biasa diakses kapan saja
lewat jaringan internet, misalnya Kompas dan Tempo. Portal berita online
memberikan keleluasaan pada masyarakat untuk mengakses berita secara cepat,
sangat aktual, dan lebih terjamin kredibilitasnya dibanding dengan informasi
yang beredar lewat media sosial. Tapi, portal berita online bukannya tanpa
kelemahan, berita yang ditulis di portal online cenderung lebih singkat, tidak
terlalu mendetail, dan kadang mengalami beberapa revisi karena penulis/jurnalis
online mengejar waktu supaya artikel bisa di-post secepat mungkin, namun kadang hal itu membuat artikel online
mengandung beberapa kekeliruan (walau biasa tidak terlalu parah).
Teknologi informasi telah
merubah dunia jurnalisme secara total. Kehadiran internet telah mendobrak
batasan bahwa media tradisional adalah satu-satunya sumber informasi. Jaringan
internet membentuk sesuatu yang disebut networksociety,
dalam komunitas ini terdapat pengguna baru yang disebut ‘prosumer’ (Pont-Sorribes, 2013: 1).
Pengguna ini tidak hanya merupakan konsumen informasi yang aktif, namun
juga turut menjadi penulis dan penyebar informasi, contoh paling nyata dari
komunitas ini adalah media sosial. Terkadang, jurnalis pers juga turut mencari
informasi lewat media sosial. Teknologi telah menjadi alat baru bagi jurnalis untuk
mendapatkan referensi secara cepat. Sisi positifnya menurut Pont-Sorribes
(2013: 1), 80% jurnalis mengatakan bahwa media online membuat interaksi dengan
pembaca berjalan dengan lebih lancar, dan mereka bisa mendapatkan umpan balik
lebih cepat tentang artikel yang mereka tulis.
Satu kekhawatiran yang muncul
dari tendensi ini adalah timbulnya sesuatu yang disebut sebagai pseudoscience atau kebenaran semu. Sebuah
fakta tidak benar yang disebarkan secara terus-menerus lewat media online
(sosial) sehingga lama-kelamaan akan menarik perhatian dari sekelompok orang,
dan bahkan diakui sebagai sebuah kebenaran oleh kelompok tersebut, dan jurnalis
yang harusnya berperan sebagai agen kebenaran, malah ikut menyebarkan kebenaran
semu tersebut semata-mata demi mendapatkan tulisan yang menarik di mata
masyarakat, Contoh kasus yang paling jelas adalah munculnya kelompok penganut
kepercayaan bumi datar, menyebar dan mencari pengikut lewat media sosial yang
minim sensor konten.
Ada bukti nyata yang
menyiratkan bahwa ada perubahan yang terjadi dalam dunia jurnalisme profesional.
Jurnalisme pers, terutama media cetak, harus beradaptasi dengan media baru
tanpa melupakan resep lama dalam penulisan dan produksi naskah berita. Mencari
informasi, mengklarifikasi informasi, mencocokkan dengan fakta, baru
menyebarkan berita. Mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan, niscaya
akan bertahan di dunia yang berjalan dengan cepat dan cenderung tak kenal ampun
ini (Pont-Sorribes, 2013: 1).
Daftar
Pustaka :
·
Buku
:
1. Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi
Komunikasi. Depok: Rajawali Pers.
2. Junaedi, Fajar, Ishadi S.K. dan Diyah
Ayu Rahmitasari. 2017. Manajemen Media di Indonesia. Jakarta: Obor.
3. Yaumi, Muhammad. 2018. Media &
Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Prenadamedia Group.
·
Jurnal
:
- Kaul, Vineet. 2012. The Pros and Cons of New Media and Media Freedom. Journal of Mass Communication & Journalism, Volume 2, Issue 5 doi: 10.4172/2165-7912.1000114. Diunduh pada 21 Januari 2019.
- Pont-Sorribes, Carles dan Sergi Cortinas-Rovira. 2013. New Media, Old Journalistic Work Routines. Journal of Mass Communication & Journalism, Volume 3, Issue 4 doi:10.4172/2165-7912.1000e142. Diunduh pada 21 Januari 2019.