Search This Blog

Thursday, April 11, 2019

Public Relations & Krisis Boeing

             Public Relations (PR) merupakan bagian dari organisasi yang berfungsi mendukung dan memelihara jalur serta aktivitas komunikasi antara organisasi dengan publiknya. PR juga dapat membantu manajemen dalam menghadapi masalah, menanggapi opini publik, serta mengakomodasi setiap perubahan yang mungkin terjadi dalam organisasi (Ruslan, 2016: 16). PR juga sering disebut sebagai Humas (Hubungan Masyarakat), namun sebenarnya itu merupakan istilah yang kurang sesuai, karena PR tidak hanya melakukan komunikasi dengan masyarakat saja, namun juga dengan pihak internal organisasi dan pemegang kepentingan (stakeholders) lain yang berhubungan dengan organisasi.

               Awal kemunculan PR dapat ditelusuri ke tahun 1906, saat itu terjadi krisis karena buruh-buruh industri batu bara di Amerika Serikat melakukan aksi mogok kerja secara total. Akibatnya, terjadi ancaman kelumpuhan total industri batu bara terbesar di negara tersebut (Ruslan, 2016: 27-29). Pada saat itu muncul Ivy Ledbetter Lee, seorang jurnalis yang mengajukan ide tentang “Manajemen Krisis dan Humas” sebagai salah satu solusi untuk megatasi krisis yang sedang terjadi. Pada ide tersebut terkandung pengertian tentang kemampuan praktisi PR untuk memimpin, melakukan peranan komunikasi, serta mengelola saluran informasi dalam upaya mencapai pemahaman dalam suatu permasalahan. Seorang praktisi PR juga harus memiliki kemampuan untuk mengatasi krisis, serta menciptakan citra positif bagi organisasi yang diwakilinya. Berkat idenya tersebut, Ivy Lee diakui sebagai tokoh penemu konsep PR modern (Ruslan, 2016: 28).

               Sejatinya, PR merupakan bagian esensial yang hampir pasti ada di setiap organisasi / lembaga, terutama yang berskala besar. Dalam menjalankan fungsinya, setiap organisasi pasti akan mengalami masalah yang berhubungan dengan pihak internal maupun eksternal. Masalah (atau kasus) yang dialami oleh organisasi sudah pasti akan menarik perhatian dari publik, baik masyarakat awam ataupun media massa, terutama di era digital seperti sekarang ini, dimana setiap individu mampu mendapatkan dan menyebarkan informasi dengan cepat berkat bantuan internet dan media sosial. Di sinilah peran PR berada, untuk menyelesaikan segala bentuk kesalah-pahaman yang mungkin terjadi, membangun pemahaman bersama dan memulihkan citra organisasi di mata publik. PR terutama harus menjaga relasi yang baik dengan media, karena medialah sumber informasi utama bagi masyarakat, dimana informasi dari media dapat mempengaruhi reputasi serta tingkat kepercayaan publik terhadap organisasi (Mohammadi, 2013: 48-50).

               Tidak jarang pula, PR dari sebuah perusahaan / organisasi melakukan blunder. Terjadi kesalahan dalam proses penanganan masalah, sehingga malah memicu reaksi negatif dan antipati dari publik serta media. Saya mengambil contoh kasus dari perusahaan Boeing. Dunia dikejutkan saat pesawat Lion Air JT-610 jatuh pada 29 Oktober 2018 di perairan Karawang tidak lama setelah lepas landas. Sebanyak 189 penumpang termasuk pilot dan awak kabin, tewas. Padahal, pesawat yang digunakan dalam penerbangan itu merupakan model terbaru Boeing dengan tipe 737 MAX 8 serta baru menjalani 800 jam terbang dan berusia kurang dari satu tahun (BBC, 2018).

               Tindakan pertama yang dilakukan oleh PR Boeing tentu saja melakukan penyelidikan dan menyampaikan belasungkawa pada keluarga korban lewat media. Tentu penyebab kecelakaan tersebut tidak bisa diketahui selama belum dilakukan penyelidikan secara menyeluruh, apakah penyebabnya berasal dari kerusakan pesawat, kesalahan pilot, atau faktor lain. Satu hal yang janggal adalah Boeing serta FAA (Federal Aviation Administration) tidak mengeluarkan larangan terbang terhadap 737 MAX 8 mengingat pesawat Lion Air yang jatuh itu masih sangat baru.

               Hingga, terjadilah persitiwa memilukan yang kedua. Pesawat Ethiopian Airlines (EA) penerbangan 407 jatuh hanya sekitar enam menit setelah lepas landas pada 10 Maret 2019. Kecelakaan ini merenggut nyawa seluruh 157 penumpang, dimana salah satunya merupakan warga negara Indonesia. Yang mengejutkan, pesawat yang digunakan sama seperti kasus Lion Air, yakni Boeing 737 MAX 8, yang baru beroperasi kurang lebih empat bulan. Hari itu juga, sekitar 40 negara di dunia langsung mengeluarkan larangan terbang secara total (grounding) pada seluruh armada 737 MAX 8, termasuk Indonesia. Anehnya, Amerika (negara asal Boeing dan FAA) tidak termasuk salah satu negara yang mengeluarkan larangan tersebut.

               Boeing berkali-kali mengeluarkan pernyataan lewat Twitter atau press release bahwa pesawat mereka sangat aman (bahkan dalam kasus Lion Air, Boeing mengatakan bahwa kesalahan murni ada pada pilot karena tidak mengikuti prosedur). Namun, hal ini memicu ketidak-puasan publik, mereka bertanya-tanya mengapa dua pesawat model terbaru bisa jatuh karena isu yang sangat mirip (setelah dilakukan penyelidikan). Publik menganggap 737 MAX 8 bukanlah pesawat yang aman, dan Boeing tidak melakukan apapun untuk meyakinkan mereka. Boeing seolah menolak memberi informasi dan kejelasan pada publik. Hal inilah yang menjadi salah satu kesalahan fatal dari PR Boeing. Mereka membiarkan publik (lewat media sosial) mengontrol isu dan opini yang beredar, padahal PR yang baik harus melakukan hal yang sebaliknya, yakni memberi informasi dan menggiring (mengontrol) opini publik terhadap suatu isu yang sedang terjadi (Vogel, 2019).

               Publik semakin antipati pada Boeing setelah tersebar kabar bahwa Boeing melakukan lobi pada Presiden Trump untuk tidak mengeluarkan perintah grounding pada armada 737 MAX. Butuh seminggu sejak kecelakaan di Etiopia sebelum Boeing mengeluarkan pernyataan belasungkawa secara resmi pada para keluarga korban, itupun hanya dalam satu kalimat, dan sisanya tetap mengatakan bahwa pesawat mereka sangat aman dan keselamatan merupakan hal utama bagi mereka. Boeing seolah menolak mengakui bahwa kesalahan terdapat pada produk mereka meski hasil penyelidikan Lion Air dan EA berkata sebaliknya. Tindakan Boeing ini membuat banyak orang menganggap bahwa Boeing jauh lebih mengutamakan keuntungan dibanding keselamatan konsumennya (Blank, 2019).

               Langkah Boeing yang menggunakan media elektronik dan sosial media untuk menyebarkan pernyataanya juga memberikan kesan bahwa para petinggi Boeing merasa segan untuk menjawab pertanyaan tidak terduga dari media secara langsung, bila mereka melakukan konferensi pers atau sejenisnya. Dengan menggunakan media-media yang bisa dikontrol, respon PR Boeing terhadap dua insiden tersebut seolah tidak mengandung empati pada para korban dan hanya sekedar formalitas belaka.

Akhirnya pada tanggal 4 April 2019, CEO Boeing, Dennis Muilenburg memberikan pernyataan bahwa kesalahan terdapat pada software baru yang mereka desain dan menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan. Boeing juga berjanji akan memberikan software update terhadap semua armada 737 MAX yang beroperasi saat ini. Sayangnya, Boeing seolah baru bertindak setelah laporan investigasi kecelakaan Lion Air dan EA disebar pada publik. Sebuah blunder yang cukup fatal, karena sekali lagi, Boeing kembali tertinggal satu langkah dari memulihkan kepercayaan publik (Solomon, 2019).

Butuh rentang waktu enam bulan dan dua kecelakaan fatal bagi perusahaan sebesar Boeing untuk mengakui kesalahan mereka. Hal ini mungkin merupakan blunder terbesar dalam sejarah PR Boeing sejak mereka mulai memproduksi pesawat pada 1916 (Blank, 2019). Krisis ini akan selalu diingat dalam sejarah dunia PR sebagai salah satu kesalahan PR yang paling fatal. Akan membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Boeing untuk memulihkan kepercayaan publik, serta mengembalikan brand image Boeing sebagai perusahaan yang peduli pada semua konsumennya (Solomon, 2019).


Daftar Pustaka
Buku
o   Ruslan, Rosady. 2016. Manajemen Public Relations Dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Jurnal
o   Mohammadi, Mohsen Eshghi. 2013. The Role Of Public Relation In Organization. Arabian Journal of Business and Management Review (Nigerian Chapter) Vol.1, No.10, 2013. Diunduh pada 7 April 2019.
Artikel Daring
o   Vogel, Tom (2019, 13 Maret). Boeing: A Case Study of What Not To Do. Diakses pada 7 April 2019, dari https://www.prweek.com/article/1579057/boeing-case-study-not
o   Blank, Aaron (2019, 3 April). Public Relations Failure: Boeing’s 737 Max Crisis. Diakses pada 7 April 2019, dari https://feareygroup.com/pr-newsletter-15-boeing-and-its-current-crisis
Solomon, Arthur (2019, 5 April). Boeing Provides Object Lesson on How NOT to Conduct PR. Diakses pada 7 April 2019, dari https://www.equities.com/news/boeing-provides-object-lesson-on-how-not-to-do-pr

No comments:

Post a Comment