Public
Relations (PR) merupakan bagian dari organisasi yang berfungsi
mendukung dan memelihara jalur serta aktivitas komunikasi antara organisasi
dengan publiknya. PR juga dapat membantu manajemen dalam menghadapi masalah,
menanggapi opini publik, serta mengakomodasi setiap perubahan yang mungkin
terjadi dalam organisasi (Ruslan, 2016: 16). PR juga sering disebut sebagai Humas (Hubungan Masyarakat), namun
sebenarnya itu merupakan istilah yang kurang sesuai, karena PR tidak hanya
melakukan komunikasi dengan masyarakat saja, namun juga dengan pihak internal
organisasi dan pemegang kepentingan (stakeholders)
lain yang berhubungan dengan organisasi.
Awal
kemunculan PR dapat ditelusuri ke tahun 1906, saat itu terjadi krisis karena
buruh-buruh industri batu bara di Amerika Serikat melakukan aksi mogok kerja
secara total. Akibatnya, terjadi ancaman kelumpuhan total industri batu bara
terbesar di negara tersebut (Ruslan, 2016: 27-29). Pada saat itu muncul Ivy
Ledbetter Lee, seorang jurnalis yang mengajukan ide tentang “Manajemen Krisis
dan Humas” sebagai salah satu solusi untuk megatasi krisis yang sedang terjadi.
Pada ide tersebut terkandung pengertian tentang kemampuan praktisi PR untuk
memimpin, melakukan peranan komunikasi, serta mengelola saluran informasi dalam
upaya mencapai pemahaman dalam suatu permasalahan. Seorang praktisi PR juga
harus memiliki kemampuan untuk mengatasi krisis, serta menciptakan citra
positif bagi organisasi yang diwakilinya. Berkat idenya tersebut, Ivy Lee
diakui sebagai tokoh penemu konsep PR modern (Ruslan, 2016: 28).
Sejatinya,
PR merupakan bagian esensial yang hampir pasti ada di setiap organisasi /
lembaga, terutama yang berskala besar. Dalam menjalankan fungsinya, setiap
organisasi pasti akan mengalami masalah yang berhubungan dengan pihak internal
maupun eksternal. Masalah (atau kasus) yang dialami oleh organisasi sudah pasti
akan menarik perhatian dari publik, baik masyarakat awam ataupun media massa,
terutama di era digital seperti sekarang ini, dimana setiap individu mampu
mendapatkan dan menyebarkan informasi dengan cepat berkat bantuan internet dan
media sosial. Di sinilah peran PR berada, untuk menyelesaikan segala bentuk
kesalah-pahaman yang mungkin terjadi, membangun pemahaman bersama dan
memulihkan citra organisasi di mata publik. PR terutama harus menjaga relasi
yang baik dengan media, karena medialah sumber informasi utama bagi masyarakat,
dimana informasi dari media dapat mempengaruhi reputasi serta tingkat
kepercayaan publik terhadap organisasi (Mohammadi, 2013: 48-50).
Tidak
jarang pula, PR dari sebuah perusahaan / organisasi melakukan blunder. Terjadi kesalahan dalam proses
penanganan masalah, sehingga malah memicu reaksi negatif dan antipati dari
publik serta media. Saya mengambil contoh kasus dari perusahaan Boeing. Dunia
dikejutkan saat pesawat Lion Air JT-610 jatuh pada 29 Oktober 2018 di perairan Karawang
tidak lama setelah lepas landas. Sebanyak 189 penumpang termasuk pilot dan awak
kabin, tewas. Padahal, pesawat yang digunakan dalam penerbangan itu merupakan
model terbaru Boeing dengan tipe 737 MAX 8 serta baru menjalani 800 jam terbang
dan berusia kurang dari satu tahun (BBC, 2018).
Tindakan
pertama yang dilakukan oleh PR Boeing tentu saja melakukan penyelidikan dan
menyampaikan belasungkawa pada keluarga korban lewat media. Tentu penyebab
kecelakaan tersebut tidak bisa diketahui selama belum dilakukan penyelidikan
secara menyeluruh, apakah penyebabnya berasal dari kerusakan pesawat, kesalahan
pilot, atau faktor lain. Satu hal yang janggal adalah Boeing serta FAA (Federal Aviation Administration) tidak
mengeluarkan larangan terbang terhadap 737 MAX 8 mengingat pesawat Lion Air
yang jatuh itu masih sangat baru.
Hingga,
terjadilah persitiwa memilukan yang kedua. Pesawat Ethiopian Airlines (EA) penerbangan 407 jatuh hanya sekitar enam menit setelah lepas landas pada 10 Maret
2019. Kecelakaan ini merenggut nyawa seluruh 157 penumpang, dimana salah
satunya merupakan warga negara Indonesia. Yang mengejutkan, pesawat yang
digunakan sama seperti kasus Lion Air, yakni Boeing 737 MAX 8, yang baru
beroperasi kurang lebih empat bulan. Hari itu juga, sekitar 40 negara di dunia
langsung mengeluarkan larangan terbang secara total (grounding) pada seluruh armada 737 MAX 8, termasuk Indonesia.
Anehnya, Amerika (negara asal Boeing dan FAA) tidak termasuk salah satu negara
yang mengeluarkan larangan tersebut.
Boeing
berkali-kali mengeluarkan pernyataan lewat Twitter
atau press release bahwa pesawat
mereka sangat aman (bahkan dalam kasus Lion Air, Boeing mengatakan bahwa
kesalahan murni ada pada pilot karena tidak mengikuti prosedur). Namun, hal ini
memicu ketidak-puasan publik, mereka bertanya-tanya mengapa dua pesawat model
terbaru bisa jatuh karena isu yang sangat mirip (setelah dilakukan
penyelidikan). Publik menganggap 737 MAX 8 bukanlah pesawat yang aman, dan
Boeing tidak melakukan apapun untuk meyakinkan mereka. Boeing seolah menolak
memberi informasi dan kejelasan pada publik. Hal inilah yang menjadi salah satu
kesalahan fatal dari PR Boeing. Mereka membiarkan publik (lewat media sosial)
mengontrol isu dan opini yang beredar, padahal PR yang baik harus melakukan hal
yang sebaliknya, yakni memberi informasi dan menggiring (mengontrol) opini
publik terhadap suatu isu yang sedang terjadi (Vogel, 2019).
Publik
semakin antipati pada Boeing setelah tersebar kabar bahwa Boeing melakukan lobi
pada Presiden Trump untuk tidak mengeluarkan perintah grounding pada armada 737 MAX. Butuh seminggu sejak kecelakaan di
Etiopia sebelum Boeing mengeluarkan pernyataan belasungkawa secara resmi pada
para keluarga korban, itupun hanya dalam satu kalimat, dan sisanya tetap
mengatakan bahwa pesawat mereka sangat aman dan keselamatan merupakan hal utama
bagi mereka. Boeing seolah menolak mengakui bahwa kesalahan terdapat pada
produk mereka meski hasil penyelidikan Lion Air dan EA berkata sebaliknya. Tindakan
Boeing ini membuat banyak orang menganggap bahwa Boeing jauh lebih mengutamakan
keuntungan dibanding keselamatan konsumennya (Blank, 2019).
Langkah
Boeing yang menggunakan media elektronik dan sosial media untuk menyebarkan
pernyataanya juga memberikan kesan bahwa para petinggi Boeing merasa segan
untuk menjawab pertanyaan tidak terduga dari media secara langsung, bila mereka
melakukan konferensi pers atau sejenisnya. Dengan menggunakan media-media yang
bisa dikontrol, respon PR Boeing terhadap dua insiden tersebut seolah tidak
mengandung empati pada para korban dan hanya sekedar formalitas belaka.
Akhirnya pada tanggal 4 April
2019, CEO Boeing, Dennis Muilenburg memberikan pernyataan bahwa kesalahan
terdapat pada software baru yang
mereka desain dan menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan. Boeing juga
berjanji akan memberikan software update terhadap
semua armada 737 MAX yang beroperasi saat ini. Sayangnya, Boeing seolah baru
bertindak setelah laporan investigasi kecelakaan Lion Air dan EA disebar pada
publik. Sebuah blunder yang cukup
fatal, karena sekali lagi, Boeing kembali tertinggal satu langkah dari
memulihkan kepercayaan publik (Solomon, 2019).
Butuh rentang waktu enam bulan
dan dua kecelakaan fatal bagi perusahaan sebesar Boeing untuk mengakui
kesalahan mereka. Hal ini mungkin merupakan blunder
terbesar dalam sejarah PR Boeing sejak mereka mulai memproduksi pesawat
pada 1916 (Blank, 2019). Krisis ini akan selalu diingat dalam sejarah dunia PR
sebagai salah satu kesalahan PR yang paling fatal. Akan membutuhkan waktu yang
cukup lama bagi Boeing untuk memulihkan kepercayaan publik, serta mengembalikan
brand image Boeing sebagai perusahaan
yang peduli pada semua konsumennya (Solomon, 2019).
Daftar
Pustaka
Buku
o Ruslan,
Rosady. 2016. Manajemen Public Relations Dan Media Komunikasi: Konsepsi dan
Aplikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Jurnal
o Mohammadi,
Mohsen Eshghi. 2013. The Role Of Public Relation In Organization. Arabian Journal of Business and Management
Review (Nigerian Chapter) Vol.1, No.10, 2013. Diunduh pada 7 April 2019.
Artikel
Daring
o Vogel,
Tom (2019, 13 Maret). Boeing: A Case Study of What Not To Do. Diakses pada 7
April 2019, dari https://www.prweek.com/article/1579057/boeing-case-study-not
o
Blank, Aaron (2019, 3 April). Public Relations
Failure: Boeing’s 737 Max Crisis. Diakses pada 7 April 2019, dari https://feareygroup.com/pr-newsletter-15-boeing-and-its-current-crisis
Solomon, Arthur (2019, 5 April). Boeing Provides
Object Lesson on How NOT to Conduct PR. Diakses pada 7 April 2019, dari https://www.equities.com/news/boeing-provides-object-lesson-on-how-not-to-do-pr
No comments:
Post a Comment