Search This Blog

Thursday, May 9, 2019

Teori Uses & Gratification dan Masyarakat Maya

Menurut Wahyuni (2014: 28), Teori Uses & Gratification (UNG) merupakan perlawanan dari teori jarum hipodermik dan awalnya digagas oleh Jay Blumler dan Dennis McQuail pada tahun 1969. Bila Teori Kultivasi melihat apa pengaruh media pada persepsi seseorang, maka teori ini adalah sebaliknya, yakni apa yang dilakukan konsumen pada media. Media dianggap sebagai salah satu alat untuk memenuhi kebutuhan khalayak, dimana teori ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan kepuasan (gratification) bagi seseorang.


Menurut Katz, Blumler, dan Gurevitch dalam Wahyuni (2014: 28), terdapat beberapa asumsi dasar mengenai teori ini, yakni :
  • Masyarakat dianggap aktif, khalayak diasumsikan menggunakan media massa karena memiliki tujuan tertentu.
  • Dalam proses komunikasi massa, inisiatif untuk memilih media yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan terletak pada masyarakat.
  • Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan konsumen, karena efektivitas dari sebuah media sangat tergantung pada perilaku dan preferensi khalayak yang bersangkutan.
  • Media yang dirasa paling memuaskan akan lebih sering digunakan oleh orang yang bersangkutan.


Secara garis besar, teori UNG mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam menentukan media apa yang ingin dikonsumsi. Pilihan seseorang dapat ditentukan oleh beberapa faktor seperti kebutuhan atau keinginan pribadinya. Beberapa jenis kebutuhan yang biasanya ingin dicapai oleh seseorang lewat konsumsi media, antara lain kognitif (pengetahuan dan informasi), afektif (emosi atau perasaan), integratif personal (citra diri atau status), integratif sosial (hubungan dengan sesama), atau pelepasan ketegangan (mengurangi stres). Beragam kebutuhan ini membuat satu jenis media belum tentu memberi manfaat yang sama pada setiap orang.


Ambil contoh film horor, bagi sebagian orang film horor mungkin menarik dan mampu memberi sensasi tersendiri dan mengurangi stres, namun bagi orang lain bisa saja malah membuat depresi, takut, dan mereka menonton hanya karena ikut-ikutan teman. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan seseorang akan konsumsi media tidak melulu ditentukan oleh dirinya sendiri, tapi juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan atau keinginan orang lain.


Hal semacam ini sangat terlihat dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, dimana kehadiran media-media baru telah merubah kebiasaan hidup masyarakat. Salah satu fenomena yang terlihat adalah munculnya apa yang disebut sebagai masyarakat maya lewat kehadiran internet dan media sosial. Menurut Nurudin (2017: 164), masyarakat maya merupakan kelompok yang menggunakan model kehidupan layaknya masyarakat dalam kehidupan nyata, seperti membangun interaksi sosial dan kehidupan kelompok, namun mereka terbentuk dan terhubung melalui interaksi jasa jaringan internet. Istilah ‘dunia maya’ pertama kali dikenalkan dalam novel Neuomancer karangan William Gibson, dan merujuk pada jaringan informasi luas, jaringan itu menunjuk pada koneksi langsung dengan sistem-sistem saraf. Dari istilah itu kemudian berkembang sebuah definisi yang mengatakan bahwa dunia maya adalah realitas yang terhubung secara global berbasis komputer. Masyarakat maya merupakan bagian dari dunia maya, dan menjadi pelaku dari aktivitas-aktivitas di dalam  dunia maya.


Menghubungkan dengan teori UNG, terbentuknya masyarakat maya ini bisa dikatakan merupakan hasil tindakan individu-individu yang memiliki ketertarikan sama sehingga berkumpul dan membentuk komunitas (Nurudin, 2017: 165). Komunitas ini biasanya bersifat terbuka, sehingga setiap orang yang berminat boleh masuk, dan bisa keluar kapan saja bila merasa tidak cocok dengan komunitas tersebut. Komunitas seperti ini paling banyak ditemui dalam media sosial, dimana terdapat banyak kelompok dengan minat dan tujuan yang berbeda antara satu sama lain.


Hanya saja, benarkah masyarakat benar-benar menggunakan media-media baru ini atas dasar keinginan mereka sendiri? Menurut Nurudin (2017: 176-185), ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa media baru, terutama media sosial menjadi begitu populer. Salah satunya adalah media sosial mampu ‘menutupi’ keadaan/sifat asli seseorang di dunia nyata, seseorang dapat terlihat sempurna dalam dunia maya, padahal kondisi aslinya tidak seperti itu. Seseorang dianalogikan seperti sedang memakai ‘topeng’ di dunia maya, yang dapat digunakan untuk mencitrakan dirinya sebaik mungkin serta tampil dengan percaya diri, namun tetap saja itu hanya merupakan fabrikasi dan tidak sesuai dengan fakta sesungguhnya. Sherry Turkle dalam Nurudin (2017: 177) berpendapat bahwa salah satu alasan seseorang masuk ke dunia maya adalah ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi tatap muka dengan orang lain, media sosial menjadi tempat penyaluran hasrat bagi orang-orang yang merasa minder dan tidak percaya diri di dunia nyata.


Gejala lain yang timbul dari fenomena masyarakat maya adalah narsisme (Nurudin, 2017: 178-179) atau perasaan cinta yang berlebihan pada diri sendiri. Keberadaan media sosial membuat seseorang dapat dengan mudah ‘memamerkan’ diri, aktivitas, atau barang kepunyaannya dengan satu tujuan utama, untuk dilihat dan diketahui orang lain. Narsis tidak selalu identik dengan foto, bisa juga lewat komentar-komentar dalam media sosial, namun biasanya bernada pedas, tidak ingin disalahkan, dan selalu merasa diri di atas orang lain. Narsis dalam perilaku yang kelewat batas, bisa dianggap sombong. Pada dasarnya semua manusia memiliki potensi untuk narsis, hanya saja berbeda tingkatannya, ada yang suka menonjolkan diri secara berlebihan namun ada pula yang lebih suka menutup diri.


Sebenarnya masih banyak lagi dampak-dampak yang bisa dirasakan dari kehadiran media baru dan masyarakat maya, namun hampir semuanya memiliki inti yang sama, media baru (terutama media sosial) memberikan kekuatan pada khalayak untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka capai/lakukan di dunia nyata. Meskipun, tidak jarang ditemui hal-hal yang hanya merupakan fabrikasi atau buatan saja, yang penting dirinya mampu mendapatkan pengakuan dan atensi di dunia maya meski hanya sesaat dan harus mengorbankan banyak hal di dunia nyata, seperti waktu, usaha, dan uang.


Bisa dibilang, sebagian masyarakat modern berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan di dunia maya, seolah dibutakan bahwa dunia maya hanya bersifat semu. Kala sudah begitu, apakah kebebasan manusia dalam memilih media seperti yang diutarakan dalam teori UNG masih berlaku? Rasa-rasanya masyarakat modern lebih dikontrol oleh media-media baru dibanding sebaliknya. Banyak orang menjadi menggunakan media-media baru bukan atas dasar keinginan/kebutuhan mereka sendiri, namun karena tuntutan lingkungan (supaya tidak dianggap ketinggalan zaman atau tidak gaul), serta kemampuan media baru yang bisa memberikan mereka ‘kekuatan’ yang tidak dapat mereka peroleh di dunia nyata, walau sebenarnya hanya membuka sifat dan watak asli seseorang untuk merasa dibutuhkan atau diperhatikan.


Daftar Pustaka
Buku
  1. Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
  2. Wahyuni, Isti Nursih. 2014. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Artikel Daring
  1. Communication Studies. 2019. Uses and Gratifications Theory. Diakses pada 6 Mei 2019, dari http://www.communicationstudies.com/communication-theories/uses-and-gratifications-theory
  2. Mass Communication Theory. 2019. Cultivation Theory. Diakses pada 6 Mei 2019, dari https://masscommtheory.com/theory-overviews/cultivation-theory/

Wednesday, April 24, 2019

The Power Of Hashtag


                 Hashtag (#) merupakan sebuah simbol yang jamak digunakan dalam dunia media sosial dewasa ini. Menurut Goodwin (2015), penggunaan pertama kali dari hashtag dapat ditarik hingga tahun 1988, lewat teknologi Internet Relay Chat dengan fungsi yang mirip dengan sekarang (mengelompokkan gambar, pesan, video dan konten lain ke dalam grup-grup). Pada tahun 2007, Chris Messina (aktor dan sutradara asal Amerika) merupakan orang pertama yang menyinggung soal penggunaan simbol ‘#’ untuk membedakan grup-grup dalam Twitter, namun menurut Goodwin, orang pertama yang menggunakan istilah ‘hashtag’ adalah seorang blogger bernama Stowe Boyd dalam sebuah postingan miliknya.

               Kasus pertama yang menjadi pemicu popularitas dari penggunaan hashtag adalah kebakaran skala besar di California tahun 2007. Nate Ritter, seorang pengguna Twitter menggunakan tagar #sandiegofire saat menulis tweet mengenai kebakaran itu. Salah satu tweet miliknya berbunyi “#sandiegofire: 300,000 people evacuated in San Diego county now” (Gregorio, 2018). Usaha Nate tersebut membuat orang-orang di seluruh penjuru dunia dapat dengan mudah mendapatkan dan menyebarkan informasi terkait bencana tersebut secara real­­-time, dan menjadi awal mula dari euforia penggunaan hashtag dalam dunia maya.

               Pada tahun 2009, Twitter menambahkan fitur hashtag, dimana pengguna dapat mencari tweet atau konten hanya berdasarkan hashtag. Facebook sendiri baru mulai mengadopsi hashtag pada tahun 2013 (Black, 2018). Sekarang, hashtag sudah bisa ditemui di hampir seluruh media sosial, seperti Instagram, Pinterest, Youtube, dan Tumblr. Tidak hanya di sosial media, hashtag juga banyak digunakan dalam bidang politik, berita, iklan, dan masih banyak lagi. Hampir semua acara di televisi memiliki hashtag yang diasosiasikan dengan program tersebut, bahkan terkadang setiap episode memiliki tag yang unik, sehingga konsumen dapat mencari dan bertukar informasi mengenai episode atau program tertentu dengan lebih mudah.

               Tentu tujuan pengunaan hashtag tidak terbatas hanya pada kemudahan mengakses informasi saja. Menurut penelitian yang dilakukan Laestadius & Megan (2017: 3-5), banyak fenomena lain yang timbul dari maraknya pengunaan simbol ini. Salah satu contohnya adalah ‘pemanfaatan’ konsumen sebagai media iklan atau promosi baru oleh perusahaan-perusahaan di dunia. KFC merupakan satu perusahaan yang gencar dalam melakukan promosi lewat media sosial dengan hashtag #howdoyoudoKFC. Dengan menggunakan tag ini, para konsumen KFC, yang mayoritas adalah kalangan muda dan juga pengguna media sosial, dapat menunjukkan foto apa saja yang mereka makan dengan tampilan dan susunan yang menarik (atau dalam bahasa gaul, instagrammable; menarik untuk difoto atau dilihat / memanjakan mata).

               Apa yang dilakukan oleh KFC ini bisa dibilang merupakan sebuah langkah yang sangat cerdas dari sisi marketing. Tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun, pengguna media sosial secara sadar atau tidak sadar sudah melakukan promosi lewat postingan mereka tersebut. Terlebih kalangan muda yang mudah tergoda oleh tren baru, banyak kalangan muda yang ikut melakukan sesuatu sekedar supaya tidak ketinggalan tren saja, tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya sedang ‘membantu’ sebuah perusahaan dalam menciptakan brand awareness dan loyalitas publik. Walau menurut Laestadius & Megan (2017: 5), apa yang dilakukan oleh kalangan muda ini tidak bisa disalahkan, karena media sosial merupakan wadah bagi mereka untuk menunjukkan identitas dan eksistensi diri, tempat dimana kreativitas dan pendapat mereka bisa dilihat atau didengarkan oleh publik.

               Menurut Nurudin (2017: 159-160), tidak jarang pula muncul hashtag sebagai bentuk perlawanan masyarakat maya terhadap suatu bencana atau kejadian. Bila kita mengingat serangan bom di Sarinah, Jakarta pada tahun 2016 lalu, muncul hashtag #PrayForJakarta dan #KamiTidakTakut¸ kedua tag ini merupakan wujud dari simpati masyarakat di daerah lain terhadap kejadian di Jakarta, sekaligus bentuk pernyataan masyarakat bahwa mereka tidak takut dan akan terus melawan aksi teror dalam bentuk apapun. Penggunaan tag ini juga membuat masyarakat bisa dengan cepat mencari dan mengikuti berbagai informasi yang terkait dengan serangan bom di Jakarta. Bisa dibilang, penggunaan hashtag di kasus-kasus genting seperti ini mampu menumbuhkan benih-benih kepedulian dan menjadi alat pemersatu rakyat yang biasa acuh tak acuh terhadap kondisi satu sama lain.

               Gerakan hashtag adalah gerakan spontan masyarakat dari berbagai macam kepentingan, dan telah menjadi sebuah fenomena sosial masyarakat masa kini. Kita sudah tidak bisa lagi memandang sebelah mata peran hashtag di media sosial, walau ia sendiri bisa menjadi pisau bermata dua. Hashtag bisa mendongkrak kredibilitas/popularitas seseorang atau lembaga, mencari keuntungan, dukungan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap suatu fenomena yang tengah terjadi. Namun, ia juga bisa menjadi “landasan hukum” dalam media sosial, dengan netizen sebagai hakimnya. Mereka bisa menghakimi orang/lembaga tertentu, menjatuhkan kredibilitas, bahkan melakukan cyber-bullying dengan hanya bermodalkan hashtag, yang sayangnya, terkadang masih tidak didukung oleh bukti yang kuat atau hanya berdasarkan pendapat subjektif semata dan tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya terjadi (Nurudin, 2017: 161-162).



Daftar Pustaka
Buku
1.      Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.

Jurnal
1.      Laestadius, Linnea, dan Megan M. Wahl. 2017. Mobilizing Social Media Users to Become Advertisers: Corporate Hashtag Campaigns as a Public Health Concern. Joseph J. Zilber School of Public Health, University of Wisconsin–Milwaukee, USA Journal, Volume 3. Diunduh pada 20 April 2019.

Artikel Daring
1.      Black, Erin (2018, 30 April). Meet the man who ‘invented’ the #hashtag. Diakses pada 20 April 2019, dari https://www.cnbc.com/2018/04/30/chris-messina-hashtag-inventor.html
2.      Gregorio, Jomer (2018). The History and Power of Hashtags in Social Media Marketing (Infographic). Diakses pada 20 April 2019, dari https://digitalmarketingphilippines.com/the-history-and-power-of-hashtags-in-social-media-marketing-infographic/
3.      Goodwin, Elana (2015, 4 Mei). How Hashtags Evolved and Changed the Way We Communicate. Diakses pada 20 April 2019, dari https://www.huffpost.com/entry/how-hashtags-evolved-and_b_6795646

Thursday, April 11, 2019

Public Relations & Krisis Boeing

             Public Relations (PR) merupakan bagian dari organisasi yang berfungsi mendukung dan memelihara jalur serta aktivitas komunikasi antara organisasi dengan publiknya. PR juga dapat membantu manajemen dalam menghadapi masalah, menanggapi opini publik, serta mengakomodasi setiap perubahan yang mungkin terjadi dalam organisasi (Ruslan, 2016: 16). PR juga sering disebut sebagai Humas (Hubungan Masyarakat), namun sebenarnya itu merupakan istilah yang kurang sesuai, karena PR tidak hanya melakukan komunikasi dengan masyarakat saja, namun juga dengan pihak internal organisasi dan pemegang kepentingan (stakeholders) lain yang berhubungan dengan organisasi.

               Awal kemunculan PR dapat ditelusuri ke tahun 1906, saat itu terjadi krisis karena buruh-buruh industri batu bara di Amerika Serikat melakukan aksi mogok kerja secara total. Akibatnya, terjadi ancaman kelumpuhan total industri batu bara terbesar di negara tersebut (Ruslan, 2016: 27-29). Pada saat itu muncul Ivy Ledbetter Lee, seorang jurnalis yang mengajukan ide tentang “Manajemen Krisis dan Humas” sebagai salah satu solusi untuk megatasi krisis yang sedang terjadi. Pada ide tersebut terkandung pengertian tentang kemampuan praktisi PR untuk memimpin, melakukan peranan komunikasi, serta mengelola saluran informasi dalam upaya mencapai pemahaman dalam suatu permasalahan. Seorang praktisi PR juga harus memiliki kemampuan untuk mengatasi krisis, serta menciptakan citra positif bagi organisasi yang diwakilinya. Berkat idenya tersebut, Ivy Lee diakui sebagai tokoh penemu konsep PR modern (Ruslan, 2016: 28).

               Sejatinya, PR merupakan bagian esensial yang hampir pasti ada di setiap organisasi / lembaga, terutama yang berskala besar. Dalam menjalankan fungsinya, setiap organisasi pasti akan mengalami masalah yang berhubungan dengan pihak internal maupun eksternal. Masalah (atau kasus) yang dialami oleh organisasi sudah pasti akan menarik perhatian dari publik, baik masyarakat awam ataupun media massa, terutama di era digital seperti sekarang ini, dimana setiap individu mampu mendapatkan dan menyebarkan informasi dengan cepat berkat bantuan internet dan media sosial. Di sinilah peran PR berada, untuk menyelesaikan segala bentuk kesalah-pahaman yang mungkin terjadi, membangun pemahaman bersama dan memulihkan citra organisasi di mata publik. PR terutama harus menjaga relasi yang baik dengan media, karena medialah sumber informasi utama bagi masyarakat, dimana informasi dari media dapat mempengaruhi reputasi serta tingkat kepercayaan publik terhadap organisasi (Mohammadi, 2013: 48-50).

               Tidak jarang pula, PR dari sebuah perusahaan / organisasi melakukan blunder. Terjadi kesalahan dalam proses penanganan masalah, sehingga malah memicu reaksi negatif dan antipati dari publik serta media. Saya mengambil contoh kasus dari perusahaan Boeing. Dunia dikejutkan saat pesawat Lion Air JT-610 jatuh pada 29 Oktober 2018 di perairan Karawang tidak lama setelah lepas landas. Sebanyak 189 penumpang termasuk pilot dan awak kabin, tewas. Padahal, pesawat yang digunakan dalam penerbangan itu merupakan model terbaru Boeing dengan tipe 737 MAX 8 serta baru menjalani 800 jam terbang dan berusia kurang dari satu tahun (BBC, 2018).

               Tindakan pertama yang dilakukan oleh PR Boeing tentu saja melakukan penyelidikan dan menyampaikan belasungkawa pada keluarga korban lewat media. Tentu penyebab kecelakaan tersebut tidak bisa diketahui selama belum dilakukan penyelidikan secara menyeluruh, apakah penyebabnya berasal dari kerusakan pesawat, kesalahan pilot, atau faktor lain. Satu hal yang janggal adalah Boeing serta FAA (Federal Aviation Administration) tidak mengeluarkan larangan terbang terhadap 737 MAX 8 mengingat pesawat Lion Air yang jatuh itu masih sangat baru.

               Hingga, terjadilah persitiwa memilukan yang kedua. Pesawat Ethiopian Airlines (EA) penerbangan 407 jatuh hanya sekitar enam menit setelah lepas landas pada 10 Maret 2019. Kecelakaan ini merenggut nyawa seluruh 157 penumpang, dimana salah satunya merupakan warga negara Indonesia. Yang mengejutkan, pesawat yang digunakan sama seperti kasus Lion Air, yakni Boeing 737 MAX 8, yang baru beroperasi kurang lebih empat bulan. Hari itu juga, sekitar 40 negara di dunia langsung mengeluarkan larangan terbang secara total (grounding) pada seluruh armada 737 MAX 8, termasuk Indonesia. Anehnya, Amerika (negara asal Boeing dan FAA) tidak termasuk salah satu negara yang mengeluarkan larangan tersebut.

               Boeing berkali-kali mengeluarkan pernyataan lewat Twitter atau press release bahwa pesawat mereka sangat aman (bahkan dalam kasus Lion Air, Boeing mengatakan bahwa kesalahan murni ada pada pilot karena tidak mengikuti prosedur). Namun, hal ini memicu ketidak-puasan publik, mereka bertanya-tanya mengapa dua pesawat model terbaru bisa jatuh karena isu yang sangat mirip (setelah dilakukan penyelidikan). Publik menganggap 737 MAX 8 bukanlah pesawat yang aman, dan Boeing tidak melakukan apapun untuk meyakinkan mereka. Boeing seolah menolak memberi informasi dan kejelasan pada publik. Hal inilah yang menjadi salah satu kesalahan fatal dari PR Boeing. Mereka membiarkan publik (lewat media sosial) mengontrol isu dan opini yang beredar, padahal PR yang baik harus melakukan hal yang sebaliknya, yakni memberi informasi dan menggiring (mengontrol) opini publik terhadap suatu isu yang sedang terjadi (Vogel, 2019).

               Publik semakin antipati pada Boeing setelah tersebar kabar bahwa Boeing melakukan lobi pada Presiden Trump untuk tidak mengeluarkan perintah grounding pada armada 737 MAX. Butuh seminggu sejak kecelakaan di Etiopia sebelum Boeing mengeluarkan pernyataan belasungkawa secara resmi pada para keluarga korban, itupun hanya dalam satu kalimat, dan sisanya tetap mengatakan bahwa pesawat mereka sangat aman dan keselamatan merupakan hal utama bagi mereka. Boeing seolah menolak mengakui bahwa kesalahan terdapat pada produk mereka meski hasil penyelidikan Lion Air dan EA berkata sebaliknya. Tindakan Boeing ini membuat banyak orang menganggap bahwa Boeing jauh lebih mengutamakan keuntungan dibanding keselamatan konsumennya (Blank, 2019).

               Langkah Boeing yang menggunakan media elektronik dan sosial media untuk menyebarkan pernyataanya juga memberikan kesan bahwa para petinggi Boeing merasa segan untuk menjawab pertanyaan tidak terduga dari media secara langsung, bila mereka melakukan konferensi pers atau sejenisnya. Dengan menggunakan media-media yang bisa dikontrol, respon PR Boeing terhadap dua insiden tersebut seolah tidak mengandung empati pada para korban dan hanya sekedar formalitas belaka.

Akhirnya pada tanggal 4 April 2019, CEO Boeing, Dennis Muilenburg memberikan pernyataan bahwa kesalahan terdapat pada software baru yang mereka desain dan menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan. Boeing juga berjanji akan memberikan software update terhadap semua armada 737 MAX yang beroperasi saat ini. Sayangnya, Boeing seolah baru bertindak setelah laporan investigasi kecelakaan Lion Air dan EA disebar pada publik. Sebuah blunder yang cukup fatal, karena sekali lagi, Boeing kembali tertinggal satu langkah dari memulihkan kepercayaan publik (Solomon, 2019).

Butuh rentang waktu enam bulan dan dua kecelakaan fatal bagi perusahaan sebesar Boeing untuk mengakui kesalahan mereka. Hal ini mungkin merupakan blunder terbesar dalam sejarah PR Boeing sejak mereka mulai memproduksi pesawat pada 1916 (Blank, 2019). Krisis ini akan selalu diingat dalam sejarah dunia PR sebagai salah satu kesalahan PR yang paling fatal. Akan membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Boeing untuk memulihkan kepercayaan publik, serta mengembalikan brand image Boeing sebagai perusahaan yang peduli pada semua konsumennya (Solomon, 2019).


Daftar Pustaka
Buku
o   Ruslan, Rosady. 2016. Manajemen Public Relations Dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Jurnal
o   Mohammadi, Mohsen Eshghi. 2013. The Role Of Public Relation In Organization. Arabian Journal of Business and Management Review (Nigerian Chapter) Vol.1, No.10, 2013. Diunduh pada 7 April 2019.
Artikel Daring
o   Vogel, Tom (2019, 13 Maret). Boeing: A Case Study of What Not To Do. Diakses pada 7 April 2019, dari https://www.prweek.com/article/1579057/boeing-case-study-not
o   Blank, Aaron (2019, 3 April). Public Relations Failure: Boeing’s 737 Max Crisis. Diakses pada 7 April 2019, dari https://feareygroup.com/pr-newsletter-15-boeing-and-its-current-crisis
Solomon, Arthur (2019, 5 April). Boeing Provides Object Lesson on How NOT to Conduct PR. Diakses pada 7 April 2019, dari https://www.equities.com/news/boeing-provides-object-lesson-on-how-not-to-do-pr

Wednesday, April 3, 2019

Teknologi Seluler: Sudah Lima Generasi

           Perkembangan teknologi seluler tidak akan pernah bisa dipisahkan dari teknologi radio gagasan Guglielmo Marconi pada tahun 1897, yang merupakan cikal-bakal dari komunikasi nirkabel (Pearson, 2011: 4). Layanan telepon mobile pertama kali diperkenalkan ke publik pada 1946 oleh perusahaan AT&T di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, sebuah sistem manual yang memiliki kapasitas untuk menampung tiga panggilan sekaligus. Pada tahun 1948, AT&T telah menyediakan layanan mobile ke seratus kota di seluruh Amerika dan memiliki lebih dari lima ribu pelanggan, yang kebanyakan berasal dari kalangan pekerja, seperti reporter dan operator truk (Pearson, 2011: 3).

               Teknologi seluler awal masih memiliki kemiripan dengan teknologi radio atau penyiaran. Pemancar berkekuatan tinggi ditaruh di atap gedung tinggi atau rumah, dan memancarkan sinyal dengan jangkauan 20-30 mil. Jaringan seluler generasi pertama menggunakan kanal frekuensi 40, 150, dan 450 MHz, yang mampu memuat lebih dari 40 channel untuk telepon mobile. Ternyata, permintaan pasar akan layanan ini begitu besar hingga membuat konsumen harus menunggu cukup lama untuk mendapat giliran. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa orang dengan jabatan atau keperluan penting (misalkan dokter atau pegawai pemerintahan) lebih diutamakan untuk menggunakan layanan ini, hingga kadang rakyat biasa harus menunggu cukup lama (Frenkiel, 2014: 2). Bahkan menurut Pearson (2011: 3), masalah ini masih berlanjut hingga tahun 1976, dimana Improved Mobile Telephone System (IMTS) di New York, hanya memiliki 12 channel dan kapasitas 2.000 pelanggan. Terkadang konsumen harus menunggu sampai 30 menit hanya untuk mendapatkan jatah panggilan.

               Sebuah solusi kemudian digagas untuk mengatasi problematika ini, yakni dengan mengganti konsep pemancar tunggal berkekuatan tinggi dengan beberapa pemancar berkekuatan lebih rendah yang tersebar dalam area yang lebih luas dan mencakup lebih banyak spektrum. Ide ini sebenarnya pertama kali digagas oleh Bell Labs pada tahun 1947, namun saat itu teknologi yang ada belum mendukung (Pearson, 2011: 3). Hingga pada 1971, AT&T mengajukan proposal ke Federal Communications Commission (FCC) tentang konsep komunikasi seluler. Pertimbangan FCC terhadap proposal AT&T memakan waktu yang tidak sedikit, baru pada 1983, FCC mengalokasikan spektrum 40 MHz pada band (pita) 800 Mhz. Hal inilah yang menjadi awal mula pengembangan generasi pertama dari jaringan seluler komersil.

               Jaringan seluler pertama kali diluncurkan di Jepang oleh Nippon Telephone and Telegraph Company (sekarang dikenal dengan nama NTT-Docomo) pada 1979. Disusul oleh Eropa pada 1981 lewat peluncuran sistem Nordic Mobile Telephone (NMT-400), sistem pertama yang mendukung roaming internasional. Generasi pertama (1G) ini masih memiliki kecepatan yang sangat lambat, sinyal yang belum stabil, serta rentan terhadap penyadapan oleh pihak luar karena sama sekali belum dilengkapi teknologi pengamanan (Patil, 2014: 204).
              
               Generasi seluler kedua (2G) diluncurkan pada akhir 1980-an. Dikenal juga dengan nama GSM, 2G membawa teknologi baru, yaitu modulasi digital yang mampu meningkatkan performa dibanding dengan analog, terutama dalam kualitas suara (Pearson, 2011: 6, 10). Teknologi ini juga membawa layanan baru untuk telepon seluler berupa pengiriman pesan singkat (SMS), serta kemampuan untuk mengakses internet lewat jaringan GPRS dan EDGE yang memiliki kisaran kecepatan 64-144 kbps. Kebutuhan akan akses internet yang semakin meningkat membuat International Telecommunications Union (TTU) mulai mengembangkan teknologi seluler generasi ketiga (3G) yang memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kecepatan akses data. 3G beroperasi pada spektrum 2100 MHz, dan memungkinkan layanan baru berupa video call dan akses internet kecepatan tinggi yang sanggup mencapai 384 kbps. Bahkan, peluncuran teknologi HSPA+ (3,5G) pada 2007 mampu meningkatkan kecepatan akses data hingga 14,4 Mbps, sebuah lompatan yang sangat signifikan (Pearson, 2011: 12).

               Long Term Evolution (LTE) merupakan generasi keempat dari teknologi seluler yang dikenalkan pada 2012. LTE tidak membawa banyak teknologi baru dibanding 3G, namun ia mampu memberikan akses data yang jauh lebih cepat hingga mencapai 100 Mbps. Hal ini sangat penting, terutama karena kehadiran smartphone yang membuat banyak orang memerlukan layanan seluler berkecepatan tinggi untuk mengakses internet, media sosial, maupun bermain game online. Beberapa provider seluler di Amerika Serikat dan negara maju lainnya bahkan sudah mampu memberi akses kecepatan hingga 1 Gbps (1000 Mbps) pada tahun 2014 (Patil, 2014: 205).
              
               Teknologi generasi kelima (5G) merupakan teknologi seluler anyar yang menjadi salah satu topik terpanas dalam dunia teknologi modern ini, dan sudah ramai diperbincangkan dari awal tahun 2018. 5G diharapkan mampu menghadirkan kecepatan yang jauh lebih tinggi lagi dibandingkan LTE. Tentu kebutuhan ini tidak lepas dari perkembangan dan perubahan tren teknologi komputasi yang sekarang sedang mengarah ke cloud computing (komputasi awan), yang mana sangat memerlukan akses data secara masif, cepat, dan stabil 24 jam penuh. Teknologi seluler terbaru ini diprediksi mampu mencapai kecepatan 5 Gbps dengan ongkos yang semakin murah, sehingga semakin mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Patil, 2014: 206-207).

               Perusahaan-perusahaan ternama, seperti Samsung, LG, dan Xiaomi, tentu tidak mau tertinggal dalam tren perkembangan seluler terbaru ini. Terbukti, pada tahun 2019 sudah ada cukup banyak smartphone yang mendukung jaringan 5G, sebut saja Samsung Galaxy S10, Oppo R15, atau Motorola Z4 (Team Digit, 2019). Memang saat ini kebanyakan smartphone yang mendukung 5G masih berada pada kelas flagship (kelas atas) dengan spesifikasi yang tinggi, namun memiliki harga yang mahal. Diharapkan dalam beberapa waktu ke depan, kelas menengah atau bahkan bawah juga akan bisa menikmati teknologi anyar ini. 5G juga diharapkan tidak hanya dimanfaatkan untuk keperluan seluler saja, namun juga digunakan dalam bidang lain, seperti sistem kecerdasan buatan dan mobil otomatis (5GCAR), media penyiaran (5G-MEDIA), kemanan publik (MATILDA), hingga kesehatan lewat layanan dokter dan konsultasi kesehatan berbasis aplikasi serta teknologi cloud (EU5G Consortium Parties, 2018: 92-93).


Daftar Pustaka

Jurnal
1.      Frenkiel, Richard. 2014. A Brief History of Mobile Communications. Journal of Bell Laboratories. Diunduh pada 1 April 2019.
2.      Pearson. 2011. Evolution of Cellular Technologies. Fundamentals of LTE Chapter 1. Diunduh pada 1 April 2019.
3.      Patil, Ganesh R.. 2014. 5G Wireless Technology. International Journal of Computer Science and Mobile Computing Vol. 3, Issue 10, October 2014. Diunduh pada 1 April 2019.
4.      EU5G Consortium Parties. 2018. The European 5G Annual Journal 2018. Diunduh pada 1 April 2019.

Artikel Daring
Team Digit (2019, 4 Maret). Best Upcoming 5G Mobile Phones. Diakses pada 2 April 2019, dari https://www.digit.in/top-products/best-5g-mobile-phones-578.html

Wednesday, March 27, 2019

Internet & HTML5; Potensi Baru Dalam Dunia Gaming


                 Perkembangan internet dimulai pada tahun 1960 dengan nama awal ARPANET yang merupakan singkatan dari Advanced Research Projects Agency Network, dan dibentuk di bawah naungan Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Tujuan utama proyek ini adalah supaya pihak militer dan peneliti dapat terhubung dalam beberapa saluran/jaringan yang menghubungkan komputer. Jaringan tersebut digunakan untuk berbagi data dan informasi yang tidak bisa dilakukan lewat komunikasi tradisional (Nurudin, 2017: 48).

               Pada awalnya internet kebanyakan digunakan oleh universitas dan laboratorium untuk melakukan penelitian pribadi. Penggunaan internet meningkat secara drastis pada 1982 setelah National Science Foundation menyediakan akses jaringan kecepatan tinggi untuk beberapa lokasi di Amerika Serikat. Runtuhnya Uni Soviet pada 1980-an juga menjadi salah satu pemicu dari peralihan penggunaan internet dari militer ke penggunaan pribadi. Di Indonesia sendiri penggunaan internet baru mulai populer semenjak awal 2000-an, dan terus mengalami kenaikan pengguna yang drastis setiap tahunnya.

Menurut data dari Kompas yang ditulis dalam buku Nurudin (2017: 49), pengguna internet di Indonesia pada 2005 sebanyak 16 juta orang, dan mencapai 88,1 juta orang pada 2014. Salah satu alasan mengapa internet begitu digemari di dunia adalah tidak adanya sosok pemimpin, organisasi, atau negara yang benar-benar mengatur atau menangani internet, sehingga pengguna internet memiliki kebebasan yang sangat besar. Tentu hal ini juga dapat menjadi pedang bermata dua, di satu sisi internet dapat menjadi sumber informasi dan pengetahuan, namun di lain sisi internet juga dapat menjadi media penyebaran konten-konten negatif seperti radikalisme atau pornografi, dikarenakan proses pengawasan dan penyaringan konten yang tidak seketat media lain (Noegroho, 2010: 50).

               Hypertext Markup Language (HTML) adalah sebuah unsur penting dalam dunia internet yang digunakan sebagai standar universal untuk menampilkan halaman web. HMTL didefinisikan dan dikendalikan penggunaannya oleh World Wide Web Consortium (W3C) (Galih, 2016). Setiap terjadi perkembangan dalam versi HTML, maka setiap browser (perambah internet) harus melakukan pembaharuan agar dapat mendukung kode-kode HTML baru tersebut. HTML sendiri diciptakan oleh Tim Berners-Lee pada tahun 1989 dan telah mencapai versi ke-5 (HTML5), yang diluncurkan pada 2010.

               Terdapat perbedaan yang cukup banyak antara HTML5 dengan versi sebelumnya, namun ada beberapa hal yang sangat signifikan dan membuat HTML5 jauh lebih powerful. Pertama, tidak diperlukan lagi tambahan plug-in seperti Flash Player untuk memutar media di dalam halaman web. Kedua, keberadaan elemen baru yaitu Canvas. Dengan menggunakan Canvas maka seorang programmer web dapat membuat dan memanipulasi gambar dua dimensi hanya dengan menggunakan kode-kode HTML dan JavaScript, tidak lagi memerlukan tambahan aplikasi lain. Dengan menggunakan elemen Canvas, dapat juga dilakukan implementasi dan manipulasi terhadap gambar-gambar berbasis Vector, sehingga gambar tidak mengalami penurunan kualitas. Kedua faktor ini membuat HTML5 memiliki prospek yang sangat besar dalam pengembangan game-game berbasis web dan mobile (Curran, 2012: 25-26).

               Tren permainan yang semakin mengarah ke portabilitas sebagai akibat dari kehadiran smartphone juga turut menjadi pengungkit bagi HTML5 untuk hadir sebagai platform game baru yang tidak bisa diremehkan. Menurut artikel di Business Matters (bmmagazine.co.uk, 2018), ada beberapa kelebihan HTML5 dibanding bahasa pemrograman lain sebagai media pengembangan game. Pertama dan yang paling penting, HTML5 tidak membutuhkan daya komputasi sebesar media pemrograman game lain yang lebih kompleks, seperti Unity atau Blender. Hal ini penting, mengingat pembuatan sebuah game biasanya membutuhkan sumber daya manusia dan komputer yang besar, serta memerlukan biaya yang tidak kalah banyak. Dengan kehadiran HTML5, proses pengerjaan sebuah game dapat disederhanakan dan dikerjakan oleh tim yang lebih kecil, atau bahkan secara pribadi.

               Hal kedua adalah kemampuan HTML5 untuk dijalankan dalam sistem operasi dan perangkat yang berbeda-beda (Cross-platform). Game yang dibuat dengan HTML5 dapat dijalankan dalam komputer, smartphone, atau tablet, selama perangkat-perangkat itu memiliki perambah web yang mendukung HTML5. Bandingkan bila membuat game secara khusus, misalkan dengan Java untuk Android, maka bila game itu ingin dibuat dalam versi iOS (iPhone, iPad), harus dilakukan penulisan ulang dengan menggunakan bahasa Objective-C (bahasa khusus produk Apple untuk melakukan coding dan membuat aplikasi) yang mana menyita banyak waktu dan usaha.

               Terakhir adalah fakta bahwa HTML5 gratis dan dapat digunakan oleh siapapun tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Faktor ini dapat menekan biaya pengembangan game, yang pada akhirnya juga mampu menekan harga jual menjadi lebih murah (atau bahkan gratis) sehingga dapat menarik perhatian konsumen dibanding game-game lain yang lebih mahal. Sifat game berbasis HTML5 yang cenderung ringan dan mudah dimainkan juga dapat menarik atensi calon konsumen yang bersifat kasual atau pemula.

Kehadiran beragam toko aplikasi digital seperti Google Play Store, Apple App Store, atau Steam membuat distribusi game kian cepat, mudah, dan murah, karena tidak memerlukan distribusi secara fisik, cukup dengan bermodalkan jaringan internet. Konsumen juga diuntungkan karena tidak perlu repot pergi ke toko, cukup membeli lewat toko aplikasi yang bersangkutan. Hal ini membawa perubahan yang sangat besar pada tren industri game, dimana banyak perusahaan mencoba mendapatkan keuntungan lewat pembuatan game mobile (yang dulu sempat diremehkan), dan pengadaan iklan atau transaksi mikro dalam permainan. Kehadiran HTML5 juga diharapkan mampu menarik perhatian pengembang independen yang dulu kesulitan karena keterbatasan dana atau sumber daya untuk turut serta menghasilkan karya yang hebat dan mampu dinikmati seluruh warga dunia (Curran, 2012: 32-33).


Daftar Pustaka
Buku
1.      Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
2.      Noegroho, Agung. 2010. Teknologi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jurnal
1.      Curran, Kevin. 2012. The Future of Web and Mobile Game Development. International Journal of Cloud Computing and Services Science Vol. 1, No. 1. Diunduh pada 26 Maret 2019.

Artikel Daring     
1.      Galih, Sugono (2016, 27 September). Sejarah dan Perkembangan HTML. Diakses pada 26 Maret 2019, dari https://www.indosmartdigital.com/artikel-19-sejarah-dan-perkembangan-html.html
2.      Business Matters (2018, 28 Oktober). How HTML5 is Improved the Gaming World. Diakses pada 26 Maret 2019, dari https://www.bmmagazine.co.uk/business/how-html5-is-improved-the-gaming-world/