Menurut Wahyuni (2014: 28), Teori Uses & Gratification (UNG) merupakan perlawanan dari teori jarum hipodermik dan awalnya digagas oleh Jay Blumler dan Dennis McQuail pada tahun 1969. Bila Teori Kultivasi melihat apa pengaruh media pada persepsi seseorang, maka teori ini adalah sebaliknya, yakni apa yang dilakukan konsumen pada media. Media dianggap sebagai salah satu alat untuk memenuhi kebutuhan khalayak, dimana teori ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan kepuasan (gratification) bagi seseorang.
Menurut Katz, Blumler, dan Gurevitch dalam Wahyuni (2014: 28), terdapat beberapa asumsi dasar mengenai teori ini, yakni :
- Masyarakat dianggap aktif, khalayak diasumsikan menggunakan media massa karena memiliki tujuan tertentu.
- Dalam proses komunikasi massa, inisiatif untuk memilih media yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan terletak pada masyarakat.
- Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan konsumen, karena efektivitas dari sebuah media sangat tergantung pada perilaku dan preferensi khalayak yang bersangkutan.
- Media yang dirasa paling memuaskan akan lebih sering digunakan oleh orang yang bersangkutan.
Secara garis besar, teori UNG mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam menentukan media apa yang ingin dikonsumsi. Pilihan seseorang dapat ditentukan oleh beberapa faktor seperti kebutuhan atau keinginan pribadinya. Beberapa jenis kebutuhan yang biasanya ingin dicapai oleh seseorang lewat konsumsi media, antara lain kognitif (pengetahuan dan informasi), afektif (emosi atau perasaan), integratif personal (citra diri atau status), integratif sosial (hubungan dengan sesama), atau pelepasan ketegangan (mengurangi stres). Beragam kebutuhan ini membuat satu jenis media belum tentu memberi manfaat yang sama pada setiap orang.
Ambil contoh film horor, bagi sebagian orang film horor mungkin menarik dan mampu memberi sensasi tersendiri dan mengurangi stres, namun bagi orang lain bisa saja malah membuat depresi, takut, dan mereka menonton hanya karena ikut-ikutan teman. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan seseorang akan konsumsi media tidak melulu ditentukan oleh dirinya sendiri, tapi juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan atau keinginan orang lain.
Hal semacam ini sangat terlihat dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, dimana kehadiran media-media baru telah merubah kebiasaan hidup masyarakat. Salah satu fenomena yang terlihat adalah munculnya apa yang disebut sebagai masyarakat maya lewat kehadiran internet dan media sosial. Menurut Nurudin (2017: 164), masyarakat maya merupakan kelompok yang menggunakan model kehidupan layaknya masyarakat dalam kehidupan nyata, seperti membangun interaksi sosial dan kehidupan kelompok, namun mereka terbentuk dan terhubung melalui interaksi jasa jaringan internet. Istilah ‘dunia maya’ pertama kali dikenalkan dalam novel Neuomancer karangan William Gibson, dan merujuk pada jaringan informasi luas, jaringan itu menunjuk pada koneksi langsung dengan sistem-sistem saraf. Dari istilah itu kemudian berkembang sebuah definisi yang mengatakan bahwa dunia maya adalah realitas yang terhubung secara global berbasis komputer. Masyarakat maya merupakan bagian dari dunia maya, dan menjadi pelaku dari aktivitas-aktivitas di dalam dunia maya.
Menghubungkan dengan teori UNG, terbentuknya masyarakat maya ini bisa dikatakan merupakan hasil tindakan individu-individu yang memiliki ketertarikan sama sehingga berkumpul dan membentuk komunitas (Nurudin, 2017: 165). Komunitas ini biasanya bersifat terbuka, sehingga setiap orang yang berminat boleh masuk, dan bisa keluar kapan saja bila merasa tidak cocok dengan komunitas tersebut. Komunitas seperti ini paling banyak ditemui dalam media sosial, dimana terdapat banyak kelompok dengan minat dan tujuan yang berbeda antara satu sama lain.
Hanya saja, benarkah masyarakat benar-benar menggunakan media-media baru ini atas dasar keinginan mereka sendiri? Menurut Nurudin (2017: 176-185), ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa media baru, terutama media sosial menjadi begitu populer. Salah satunya adalah media sosial mampu ‘menutupi’ keadaan/sifat asli seseorang di dunia nyata, seseorang dapat terlihat sempurna dalam dunia maya, padahal kondisi aslinya tidak seperti itu. Seseorang dianalogikan seperti sedang memakai ‘topeng’ di dunia maya, yang dapat digunakan untuk mencitrakan dirinya sebaik mungkin serta tampil dengan percaya diri, namun tetap saja itu hanya merupakan fabrikasi dan tidak sesuai dengan fakta sesungguhnya. Sherry Turkle dalam Nurudin (2017: 177) berpendapat bahwa salah satu alasan seseorang masuk ke dunia maya adalah ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi tatap muka dengan orang lain, media sosial menjadi tempat penyaluran hasrat bagi orang-orang yang merasa minder dan tidak percaya diri di dunia nyata.
Gejala lain yang timbul dari fenomena masyarakat maya adalah narsisme (Nurudin, 2017: 178-179) atau perasaan cinta yang berlebihan pada diri sendiri. Keberadaan media sosial membuat seseorang dapat dengan mudah ‘memamerkan’ diri, aktivitas, atau barang kepunyaannya dengan satu tujuan utama, untuk dilihat dan diketahui orang lain. Narsis tidak selalu identik dengan foto, bisa juga lewat komentar-komentar dalam media sosial, namun biasanya bernada pedas, tidak ingin disalahkan, dan selalu merasa diri di atas orang lain. Narsis dalam perilaku yang kelewat batas, bisa dianggap sombong. Pada dasarnya semua manusia memiliki potensi untuk narsis, hanya saja berbeda tingkatannya, ada yang suka menonjolkan diri secara berlebihan namun ada pula yang lebih suka menutup diri.
Sebenarnya masih banyak lagi dampak-dampak yang bisa dirasakan dari kehadiran media baru dan masyarakat maya, namun hampir semuanya memiliki inti yang sama, media baru (terutama media sosial) memberikan kekuatan pada khalayak untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka capai/lakukan di dunia nyata. Meskipun, tidak jarang ditemui hal-hal yang hanya merupakan fabrikasi atau buatan saja, yang penting dirinya mampu mendapatkan pengakuan dan atensi di dunia maya meski hanya sesaat dan harus mengorbankan banyak hal di dunia nyata, seperti waktu, usaha, dan uang.
Bisa dibilang, sebagian masyarakat modern berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan di dunia maya, seolah dibutakan bahwa dunia maya hanya bersifat semu. Kala sudah begitu, apakah kebebasan manusia dalam memilih media seperti yang diutarakan dalam teori UNG masih berlaku? Rasa-rasanya masyarakat modern lebih dikontrol oleh media-media baru dibanding sebaliknya. Banyak orang menjadi menggunakan media-media baru bukan atas dasar keinginan/kebutuhan mereka sendiri, namun karena tuntutan lingkungan (supaya tidak dianggap ketinggalan zaman atau tidak gaul), serta kemampuan media baru yang bisa memberikan mereka ‘kekuatan’ yang tidak dapat mereka peroleh di dunia nyata, walau sebenarnya hanya membuka sifat dan watak asli seseorang untuk merasa dibutuhkan atau diperhatikan.
Daftar Pustaka
Buku
- Nurudin. 2017. Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada.
- Wahyuni, Isti Nursih. 2014. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Artikel Daring
- Communication Studies. 2019. Uses and Gratifications Theory. Diakses pada 6 Mei 2019, dari http://www.communicationstudies.com/communication-theories/uses-and-gratifications-theory
- Mass Communication Theory. 2019. Cultivation Theory. Diakses pada 6 Mei 2019, dari https://masscommtheory.com/theory-overviews/cultivation-theory/